BAHASA
INDONESIA
CERITA
PENDEK KELAS 4, 5, dan 6
Dosen pengampu :
Qumruin
Nurul Laila, M.Pd.I
Disusun
oleh :
WENI
MARINA (
D97216090 )
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH
IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2017
Penjaga Gunung Kelud yang Setia
Langit yang biru, matahari terbit di sebelah timur, burung-burung berkicau. Jutaan butiran-butiran embun di atas daun pisang terlihat menyegarkan. Membasahi daun-daunan di alam. Rerumputan menari bersama selir angin yang sejuk. Para belalang melompat-lompat di atas rumput yang asri. Kupu-kupu dan capung berterbangan di udara dengan indahnya, ragam warna di sana. Bunga-bunga semua
bermekaran
terlihat cantik dan menawan. Tinggal di desa sungguh mempesona, sejuk, alami,
menyegarkan dan menyehatkan. Alangkah indahnya jika negeri ini tetap menjaga
alam untuk masa depan.
Di
ujung pagar bambu yang tinggi seekor ayam jago mengeluarkan suaranya yang
sangat kencang “Kuukuuruyuuukkk……!!??!?!!!!”, ayam yang gagah dan pemberani itu
tinggal di sebuah kandang milik Pak Pardi. Pak Pardi adalah seorang tani
tinggal di sebuah gubuk yang telah lapuk. Dengan adanya tempat tinggal pak Pardi
merasa sangat bersyukur, pak Pardi hidup sebatang kara akan tetapi memiliki
usaha yang sangat banyak. Layaknya pengusaha, tetapi beliau bukan pengusaha
hanya seorang tani dan memiliki peternakan ayam untuk kebutuhannya sehari-hari.
Pak Pardi memiliki keluarga, juga memiliki
cucu. Keluarganya hidup di luar negeri, mereka menjenguk pak Pardi hanya dua
tahun sekali. Itu pun, jika anak anaknya tidak memiliki
kesibukan pekerjaannya. Pak Pardi sudah terbiasa hidup sendiri di daerah
pegunungan yang jauh dengan tetangga. Pak Pardi kehilangan istrinya yang telah
pergi 5 tahun yang lalu meninggalkan lebih dahulu dari usia tuanya. Beliau
memang sangat merindukan keluarganya, ia hanya memiliki satu kenangan dari istrinya
yakni seekor ayam jago.
Beliau memberikan
nama Kardi, sesuai nama istrinya dengan dirinya. Kardi gabungan dari nama
Kartini dan Pardi, mereka adalah pasangan sangat setia. Usia pernikahan mereka
telah 60 tahun lamanya setelah bu Kartini tiada. Pak Pardi sangat menyayangi
ayamnya itu. Pak Pardi menghabiskan masa tuanya dengan begitu keras tanpa
dibantu tetangganya.
Setiap
Kardi bersuara di pagi hari, pak Pardi mencari alat perkakas tani di kandang
ayam. Dan pergi ke sawah dengan ayamnya. Pak Pardi bekerja, mencangkul, menebar
bibit, menimbun, menyiram, memupuk dengan riangnya. “Desa.. ku yang ku cinta..
pujaan hatiku…” pak Pardi selalu menyanyikan desaku dengan senyuman tuanya.
Ayamnya menari mengelilingi sebuah cangkul dengan lucunya. Pak Pardi sangat
menikmati sejuknya udara persawahan. Selesai bertani, pak Pardi memberi makanan
ke kandang ayam. Ratusan ayam yang sehat dan gemuk membuat pak Pardi selalu
tertawa “hahahaha, kalian ini sudah gemuk tidak bosan apa makan terus.
Jalan kalian nanti tidak secepat kuda. buk!buk!buk! (meniru lari seekor kuda) hahahahaha.. yasudah makanlah yang kenyang ayam-ayam ku, kalian jangan sakit. Bernyanyilah sesuka hati” kata pak Pardi sambil menuangkan makanan ayam ke sebuah kotak besar dan menuangkan minuman ke wadah.
Tiba saatnya pak Pardi sarapan pagi, pak Pardi
menyimpan beberapa jagung untuk dimakan hari ini. Karena telah lama jarang
makan jagung, dia akan memasak jagungnya. Ia menyiapkan api dan arang untuk
membakar jagung sarapannya. Lapar yang terasa ia tergesa-gesa lari menuju
tumpukan batu tempat yang ia simpan jagung-jagung manisnya. Tiba-tiba pak Pardi
jatuh dan sedih melihat jagung-jagungnya habis dilalap Kardi, beliau merintih
kelaparan, air matanya yang mengalir dari ujung mata turun ke ujung hidungnya
yang mungil, membuat beliau habis kesabaran. Jagung yang ia korbankan dari
perjalanan yang cukup jauh, menuruni perbukitan yang curam, melalui hujan lebat,
dengan membawa beras sekarung yang besar untuk ditukarkan beberapa jagung manis.
Perjuangannya cukup membuat ia putus asa dan naik darah kepada Kardi. Ia
memukul Kardi dengan sebuah bambu. Kardi lari terpingkal-pingkal dan berteriak
“petok!! petok!”, sesungguhnya mulut Kardi ingin mengeluarkan suaranya layak
manusia biasa. Tetapi belum waktunya, Kardi membuka rahasianya.
Pak Pardi mengusir Kardi
dari rumah “pergi ayam malas! Aku makan apa? Tidakkah kau tahu bahwa aku juga
belum makan? Pergi! Dan jangan kembali! Hus! Syoh!”. Beliau sangat sedih dan
kebingungan, apa yang ia makan hari ini. Ia melihat sekarung beras untuk dijual
ke pedesaan. “Beras itu, untuk para warga. Tapi aku sangat lapar” rintihan pak
Pardi. Ia mengambil sedikit beras untuk dirinya dan memulai memasak.
“Aku pergi kemana? Aku sendirian. Aku ayam
serakah. Ayah sangat kelaparan, tetapi aku menghabiskan jagungnya. Setidaknya
aku bisa makan berdua dengannya. Pasti ia tidak membenci ku hari ini. Maafkan
aku ayah, maafkan aku. Aku tidak akan kembali, jika ini yang ayah inginkan” gumam
si ayam.
Api
yang membara menyelimuti ranting-ranting kayu, mematangkan masakan pak Pardi.
Beliau menunggu dengan melihat api, ia teringat ayamnya, terlihat sepintas ia
mematikan api dan pergi mencari Kardi. Ia mencari di seluruh tempat tinggalnya
yang kecil dan lahannya yang luas. Tetapi tidak ditemukannya Kardi. Pikirnya, mungkin
di sore hari Kardi pasti kembali, “Kardi adalah ayamku yang pintar. Aku akan
menunggunya dan menyisakan makanan untuknya”. Pak Pardi mengangkat nasinya dari
perapian, beliau sedikit demi sedikit memasukkan makanannya ke dalam mulut. Ia melamun
lagi, ia tak kuasa hidup sendiri tanpa seekor ayam pemberian istrinya. Ia
semakin tidak nafsu makan, ia hanya memikirkan Kardi, dimanakah ia sekarang.
Panen padi telah tiba,
hingga empat bulan pak Pardi
tidak pernah mendengar suara Kardi di atas pagar, Kardi
belum kembali. Pak Pardi menggali tanah dengan lemas, wajah yang tua terlihat
sangat pucat, dan tidak bersemangat. Ia sendiri, tidak ada teman untuk
mengobrol, terasa sunyi dan hening. “ayam ku, pulanglah sayang. Maafkan ayah telah
kasar kepada mu. Kamu belum kenal wilayah luar, kamu apa kabar nak? Istri ku,
maafkan aku yang lemah ini, aku tidak bisa menjaganya dengan baik. Aku egois
kepadanya, aku mengusirnya. Kita kehilangan Kardi, aku sangat kesepian” tetesan
air mata pak Pardi tergelincir dengan tetesan keringatnya di bawah terik
matahari.
Hasil
dari kerja keras bersama si Kardi seekor ayam untuk membangunkan pak Pardi setiap
pagi hari. Hasilnya lebih dari hasil biasanya hingga dua kali lipatnya, warna
beras putih dan bersih menandakan hasilnya sangat memuaskan.
Begitu pula
peternakannya, para ayam betina menghasilkan telur 10 butir. Dengan rezeki yang berlimpah itu, pak Pardi
tetap merasa sedih. Raut wajahnya tidak memperlihatkan senyuman tuanya. Pak
Pardi pergi ke sebuah desa dengan sangat gelisah dan melamun. “Huh, aku ingin
ayam ku. Aku tidak bisa bahagia tanpa bersamanya.
Biasanya dia menari berputar-putar. Membantuku membasmi hama. Semoga kita
dipertemukan di lain waktu” pinta pak Pardi dengan berjalan menuju ke desa.
Dari pemandangan atas, ia melihat pemandangan
desa dari jauh. Ia berharap bisa bertemu Kardi ayam kesayangan. Dengan penuh
harapan ia bersemangat pergi menuju desa. “Desa ku yang ku cinta..” ia
bernyanyi dan bersemangat. Ia melihat langit yang cerah
dan burung berterbangan.
Tiba di sebuah dinding besar untuk memasuki daerah pedesaan, ia terus berjalan
dan memasuki sebuah desa itu. Disana disambut oleh kepala desa dan ketua RT,
mereka sedang menanti pak Pardi. Ia berjalan menghampiri mereka “Pak Pardi,
sungguh sejahtera hidup mu, semua panen melimpah hari ini” kata kepala desa. “alhamdulillah
saya tak lupa bersyukur untuk hari ini, semoga kalian senang” (tersenyum
sedikit) sahut pak Pardi sambil memberikan beberapa beras.
Sementara
di sebuah tempat yang berbeda. “Aku ingin pulang, aku rindu ayahku. Aku bersalah
kejadian itu. Aku bersalah, sekarang aku tidak punya tempat tinggal” Kardi
mengungkapkan bersalahnya sebanyak mungkin selama beberapa minggu. Terdengarlah
suara teriakan “tolong!!! Tolong! Siapapun tolong aku!!” suara ayam betina
kesakitan. Kardi mendengar dan mengikuti suara itu. Ia melihat rumput jepang
meliliti kaki si betina. Kardi mematuk matuk tali tersebut hingga terputus. Si
betina berterima kasih kepada Kardi. “Wahai teman ku, terimakasih kau telah
menolong ku. Sudah dua hari aku terjebak di hutan, tidak seorang pun menolong
ku dan aku hampir dimakan harimau. Tapi aku berpura-pura mati terkena gigitan
ular. Kardi berkata “sama-sama. Aku hanya sepintas lewat disini.
Perkenalkan, namaku
Kardi. Aku berasal dari desa gunung Kelud. Nama kamu siapa?”. “Aku Ina, aku
tidak punya tempat tinggal. Sudah 10 tahun, si kakek tua meninggalkan ku. Dia
telah meninggal karena usianya memang telah lemah, tapi kenapa kamu bisa pergi
sejauh ini? Apa kamu tersesat?”. Tanya si Ina. “sebenarnya, aku melakukan
kesalahan. Aku menghabiskan jagung ayah ku untuk makanan malamnya, dia sangat
tua, dia seorang manusia, Ina.
Dia
tak banyak menyimpan makanan. Lalu, ayah ku naik darah dan aku diusir dari
rumah. Aku pergi meninggalkannya, aku terus menyesal. Tak sadarkan diri jalan
yang ku lalui, aku tidak mengingatnya. Aku sangat merindukan ayah ku. Aku ingin
kembali, tapi aku tersesat. Kurasa kesalahan ku sangat besar, hingga ayah ku
tidak mencariku”. Si Ina memeluk Kardi dengan kasih sayang, “Kardi, kamu tidak
harus menyerah dan bersedih. Ayah mu sangat sayang kepadamu, ia juga pasti
merindukan mu. Untuk menghapus apa yang terjadi, kamu harus kembali dan
menemaninya”. Kardi merunduk kebingungan. “bolehkah aku menolong mu? Aku tahu
desa gunung Kelud” kata Ina. “Terimakasih, Ina. Kamu sangat baik”. Mereka
saling berpelukan.
Di
sepanjang jalan, mereka saling bersama. Mereka saling bercerita tentang tuannya.
Terjang angin, dinginnya malam, panasnya matahari mereka menikmatinya. Mereka
saling memberi makan satu sama lain. Mereka memiliki pandangan pertama, dan saling
melindungi. Kardi yang tidak sabar bertemu pak Pardi, ia bernyanyi sangat merdu
“desa ku yang kucinta. Pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda. Dan handai taulan
ku. Tak mudah ku lupakan. Tak mudah bercerai. Selalu ku rindukan. Desaku yang
permai”. Ina mendengar Kardi bernyanyi, ia menirukan dan bernyanyi bersama.
Mereka sangat bahagia, mereka melihat gunung Bromo dari jauh.
Kardi
dan Ina merasakan hal yang mencurigakan, ketika melihat burung-burung terbang
berkeliaran. “Cepat bersiaga! Semua sahabat ku! Gunung Kelud segera meletus! Semua
cepat bersiaga waspadalah!” kata si burung elang. Kardi dan Ina sangat terkejut
dan sama-sama memikirkan pak Pardi. Mereka berlari sangat kencang, menuju rumah
pak Pardi. Beribu kenangan masa kecil, Kardi mengingat begitu besar kasih
sayang Bu Kartini dan pak Pardi. Mereka mencintainya, kebersamaan dan
kenyamanan pelukan mereka membuat Kardi ingin segera sampai di rumah. Ia
meneteskan air mata kerinduan, “aku mencintai mu tuan” ungkap si ayam peliharaan
pak Pardi.
Belum tiba di desa Kelud, gunung kelud mengeluarkan lava yang besar. “boooom!!!!! Booom!! Wuuussshhh!!” suara gemuruh gunung Kelud. Lava yang keluar dari mulut gunung itu, turun ke desa Kelud. Gumpalan tanah yang panas, awan semakin mendung, melihat bencana itu, Kardi tidak tahan melihat bencana tersebut. Ia menangis menjerit dengan kerasnya “ayaaaaaahhhhhhh!!!” , ia berlari sekuat tenaga dengan kaki mungilnya. Ina juga ikut menangis takut kehilangan pak Pardi. Mereka berlari menemui pak Pardi untuk menolongnya, begitu sakitnya kehilangan keluarga. Lava semakin cepat turun, menindas hutan-hutan, sawah milik pak Pardi dan rumah gubuk satu-satunya juga terkena lahar api gunung. Tanah yang longsor menyelimuti wilayah pak Pardi dan sekitarnya. Para desa Kediri mengetahui bencana alam itu, para warga membangunkan pak Pardi yang tertidur di batang kelapa “pak Pardi, bangunlah! Rumah mu terkena musibah! Gunung Kelud meletus, pak. Bangunlah!”. Pak Pardi seketika bangun dan melihat rumahnya “tidak! Rumah ku! Ayam ku! Se.. se.. muanya dimakan lava.. a…a…”. Pak Pardi berlari ke atas menyelamatkan ternak nya. “Pak Pardi jangan kesana!” kata warga Kediri. Pak Pardi terus berlari dan berjuang melawan usianya.
Hingga
akhirnya gunung Kelud telah tenang, si Kardi dan Ina tiba di sebuah gundukan
tanah yang menimpa gubuk pak Pardi. Kardi menggali tanah yang panas itu, ia tak
bisa terima jika ayahnya meninggal karena dirinya. Ina membantu menggali tanah,
mereka saling berduka. Gundukan semakin berkurang, Kardi melihat kain yang
terakhir dipakai ayahnya. Ia menarik kain dengan paruhnya, sungguh malang hidup
Kardi. Ia belum sempat mengucapkan maaf kepada ayahnya, ia berteriak
“petoooooookkkkkk!!”. Ina memeluk erat Kardi, mereka sangat menyesal datang terlambat.
“Aku Kardi, ayah! Jangan tinggalkan aku! Aku minta maaf semuanya! Aku bisa
bicara! Aku ingin menemani mu! Kumohon, bangunlah ayah! Aku datang! Aku akan
jadi ayam yang baik untuk mu! Kita harus bersama ayah!” kata Kardi. Kardi tidur
membujur diatasi kain ayahnya. Ina hanya bisa menemani Kardi dan membantu
ayam-ayam yang lain milik pak Pardi.
Udara begitu gelap, Ina
tidak dapat melihat dengan jelas bunyi dari arah ujung. Ina mendekati Kardi dan
membangunkannya, “Kar.. Kar.. bangun.. Kardi, ada suara disana. Ada yang datang
kemari. Kardi bangunlah, aku takut” kata Ina. Dengan berat hati Kardi membuka
mata, ia melihat seperti tubuh ayahnya yang lemah. Ia berpikir, ia hanya halusinasi.
Ina membisik Kardi “Kardi, ada manusia disana. Apakah benar?”. Kardi berusaha
melihat dengan baik, “Ina juga melihat tubuh manusia, jadi aku tidak
halusinasi” gumam Kardi. Langkah demi langkah semakin dekat, pak Pardi
mendengar suara ayam-ayamnya “ah, syukurlah. Mereka selamat, mereka selamat”.
Kardi menangis bahagia mendengar suara ayahnya, ia terus melihat bayangan
ayahnya yang remang-remang itu. Sepasang sandal putih yang biasa dipakai
ayahnya ke sawah, Kardi berteriak menghampiri ayahnya. “ayaaah, petokk!
Petokk!! Kardi disini” kata Kardi sambil berlari. Pak Pardi yang penglihatannya
rabun, mencari suara itu. Ia heran “itu seperti suara Kardi, tapi kenapa ia
bisa bicara?”.
Air hujan mulai turun, semua kabut asap menghilang, tanah menjadi dingin, udara menjadi sejuk. Pak Pardi melihat ayam kesayangannya berlari menuju jemari kakinya, “ayam ku, Kardi”. Mereka bertemu saling berbagi kehangatan. Mereka menangis sepuasnya, “ayah, sebenarnya aku Kardi
yang
bisa bicara. Aku takut mengeluarkan suaraku, takut ayah menjauhiku” ungkap di
Kardi. “Kamu kembali Kardi, aku minta maaf melukaimu. Aku janji merawat mu”
balas pak Pardi. “Kita hidup bersama” mereka berdua berjanji bersama. “Selama
aku tersesat, ada Ina yang membantu ku. Dia juga disini, ayah. Aku
mencintainya, aku ingin memilikinya” kata Kardi. Pak Pardi senyum lucu, melihat
Kardi dan Ina saling menyayangi, “kalian semoga bahagia, ayah ijinkan kalian
bersama. Tapi, kalian jangan tinggalkan ayah sendiri lagi”.
Aktivitas membersihkan desa Kelud, mewarnai hari-hari mereka. Sawah mulai subur, ayam-ayamnya semakin bertambah. Pak Pardi menyambut kedatangan Ina untuk Kardi, mengawinkan mereka dengan uniknya.
Ratusan ayam melihat perkawinan Ina dan Kardi. Beberapa bulan kemudian, Ina dikaruniai anak-anak yang lucu. Pak Pardi merasa memiliki keluarga bersama peliharaannya. Mereka tertawa bersama saat panen tiba.
GOOD
BalasHapus