BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
berkembangnya teknologi di bidang kedokteran, sekarang pencangkokan organ tubuh
bukanlah menjadi sesuatu yang hal mustahil dilakukan. Orang-orang yang
mengalami kerusakan kesehatan pada organ tubuhnya dapat melakukan transplantasi
daripada melakukan terapi kesehatan, contohnya seperti kerusakan ginjal,
daripada melakukan cuci darah sekali dalam seminggu mak lebih baik melakukan
operasi transplantasi ginjal lebih efektif.
Pemerintah
melegalkan tindakan-tindakan medis demi penyembuhan dan pemulihan kesehatan
sekalipun itu dilakukan melalui transplantasi organ dan implan obat. Jadi dalam
hal ini pemerintahan telah berkontribusi dalam bidang kesehatan dengan
memberikan perlindungan berupa hukum bagi para dokter.
Transplantsai
organ boleh dilakukan hanya untuk tujuan penyembuhahan dan tidak diperbolehkan
untuk tujuan kepentingan pribadi. Dalam hal mempergunakan kesempatan untuk
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya yang dilakukan oleh dokter atas tindakan
medisnya yang mengakibatkan biaya yang dibutuhkan terlampau tinggi sehingga
tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat. Selain itu, dalam pengadaan organ
donor hanya diperbolehkan mendapatkan organ tersebut dari pendonor organ yang
rela organnya diambil secara sukarela.
Bahkan
Tidak diperbolehkan mendapatkan organ tersebut dengan cara-cara illegal seperti
mencuri dari orang yang telah mati ataupun membeli dari orang yang menginginkan
organnya atau organ orang lain dijual demi mendapatkan keuntungan.
Dengan
demikian, penulis ingin menyampaikan hal-hal mengenai tentang jual beli serta
hukum jual beli organ yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab
dalam beberapa perspektif seperti pandangan islam ataupun pandangan hukum
pemerintahan.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini
perumusan masalah yang akan disampaikan yaitu:
1. Apakah
pengertian dari jual beli?
2. Apakah
dasar hukum jual beli?
3. Apakah
hukum jual beli organ tubuh?
C. Tujuan
Pembelajaran
Dalam makalah ini
tujuan pembelajaran yang akan tersampaikan yaitu:
1. Untuk
mengetahui apa pengertian dari jual beli.
2. Untuk
mnegetahui apa dasar hukum jual beli.
3. Untuk
mengetahui apa hukum jual beli organ tubuh.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Jual Beli
Jual
beli dalam istilah fiqih disebut dengan “al-ba’i”, yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar sesuatu yang lainnya. Lafal “al-ba’i” dalam
bahasa Arab digunakan untukk pengertian lawannya, yakni kata “asy-syira’”(beli).
dengan demikian kata “al-ba’i” berarti jual, tetapi juga sekaligus beli.[1]
Secara
etimologi jual beli diartikan sebagai berikut : ”pertukaran sesuatu dengan
sesuatu yang lain”.[2]
Jual
beli menurut pengertian lughawi adalah saling menukar (pertukaran). dan
kata al-ba’i (jual) dan asy-syira’ (beli) dipergunakan biasanya dalam
arti yang sama.
Secara
terminologi terdapat berbagai definisi jual beli sebagai berikut:
1.
Menukar barang
dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2.
Pemilikan harta
benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara’
3.
Saling tukar
harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul,
dengan cara yang sesuai dengan syara’
4.
Tukar-menukar
benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).
5.
Penukaran benda
dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik
dengan ada penggantiannya dengan cara yang dibolehkan.
6.
Aqad yang tegak
atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik
secara tetap.[3]
yang dikemukakan oleh ulama fiqih, sekalipun
substansinya dan ujung masing-masing definisi adalah sama. seperti ulama’ hanafiyah
mendefinisikannya dengan “saling menukar harta dengaan harta melalui cara
tertentu atau tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui
cara tertentu yang bermanfaat”.
Sedangkan
definisi lain yang dikemukan oleh ulama’ malikiyah, syafi’iyah dan hanabilah
mengartikan jual beli adalah saling tukar menukar harta dengan harta dalam
bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
Perdagangan
atau perniagaan pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang dari satu tempat
atau pada waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu berikut
dengan maksud memperoleh keuntungan.
Dari
definisi di atas, dapat dipahami bahwa yang diperjualbelikan adala suatu
perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela
di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerina sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’
dan disepakati.[4]
B. Hukum
Dasar Jual Beli
Semua
jual beli hukumnya boleh jika dilakukan oleh kedua belah pihak yang mempunyai
kelayakan untuk melakukan transaksi, kecuali jual beli yang dilarang. Selain
itu maka jual beli boleh hukumnya selama
tidak dilarang Allah SWT. Terdapat beberapa ayat dalam al-Quran yang menjadi
dasar hukum jual beli, yaitu:
Q.S Al-Baqarah
ayat 275
الرِّبَواْ
وَأَحَلَّ الله اْلبَيْعَ وَ حَرَّمَ
Artinya : ”Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”[5]
Maksud dari ayat di atas ialah orang-orang yang mengambil riba
atau tambahan dengan uang atau bahan makanan baik itu mengambil tambahan dari
jumlahnya maupun mengenai waktunya, untuk jual beli secara kredit. Maka akan
dibangkitan dari kubur dengan keadaan yang buruk. Tetapi jika mereka bisa
menghentikan memakan riba maka Allah akan menghalalkan jual beli.
Dalam hadits juga
menyebutkan :
“Jual beli itu akan sah
bila ada kerelaan”.
Kerelaan dalam jual beli sulit digambarkan. Jumhur ulama sepakat
bahwa kerelaan dalam jual beli terjadi melalui
kesepakatan kedua belah pihak yaitu dengan adanya ijab qobul.
C. Hukum
Jual Beli Organ Tubuh
Mengingat
kondisi darurat, kebutuhan dan kompleksitas dimensi masalah serta keterbatasan
jaringan atau organ transplan yang layak, maka menurut hemat saya semua kasus
yang diperbolehkan di ataspun dalam prakteknya harus dilakukan dengan ketentuan
skala prioritas sebagai berikut:
Dari
segi donor harus diperhatikan ketentuan
berikut dalam prioritas pengambilan:
1. Menanam
jaringan atau organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis,
2. Mengambil
jaringan atau organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena dapat
tumbuh kembali seperti kulit, dan lainnya.
3. Mengambil
dari organ atau jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam
kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. Dalam sebuah riwayat
atsar disebutkan:” Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat
dengan barang haram.” Tetapi dalam kondisi darurat syar’i sebagaimana dalam
kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat”(darurat membolehkan
pemanfaatan hal haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuaal”(bahaya harus
dihilangkan) yang mengacu pada ayat dharurat seperti Al Maidah: 3 maka boleh
memanfaatkanbarang haram dengan sekedar kebutuhan dan tidak boleh berlebihan
dan jadi kebiasaan sebab dalam kaedah
fiqh dijelaskan “Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa”(pertimbangan kondisi
darurat harus dibatasi sekedarnya) sebagaimana mengacu pada batasan dalam ayat
darurat tersebut diatas.
4. Mengambil
dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan diatas.
5. Mengambilan
dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas,disamping
orang tersebut adalah mukallaf (baligh dan berakal) dengan kesadaran,
pengertian, sukarela, atau tanpa paksaan.
Majelis
Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dalam qorornya no.1 pada Muktamar ke empat tanggal 6-11 Februari 1988 di Jeddah
menyatakan baha donor organ tubuh manusia itu terbagi menjadi beberapa bentuk.
Dari masing-masing bentuk itu ada hukumnya sendiri-sendiri sesuai dengan
pembahasan para ulama’ dari muktamar itu. Secara umum bisa disimpulkan antara
lain:
1. Boleh
memindahkan organ atau bagian manusia hidup ke jasad manusia hidup lainnya.
Bila organ atau bagian itu bisa diperbaharui secara otomatis seperti donor
darah dan transplantasi kulit.
2. Diharamkan
mendonorkan bagian organ tubuh yang vital (menentukan hidup mati) bagi nyawa
dimana pendonor itu adalah manusia yang masih hidup. Seperti donor hati,
jantung dan lainnya.
3. Begitu
juga diharamkan mendonorkan bagian organ tubuh yang akan mengurangi peran pokok
kehidupan pendonornya sedangkan dia masih hidup. Meski tidak langsung berkaitan
dengan nyawa pendonor. Seperti kornea kedua mata.
4. Sedangkan
donor organ dari tubuh manusia yang telah mati kepada manusia yang hidupyang
nyawanya sangat tergantung dari cangkok itu ataupun yang menambah kemampuan
pokok manusia dibolehkan. Dengan syarat bahwa hal itu harus seizin mayat itu
sejak masih hidup atau seizin dari para ahli warisnya atau izin dari wali
muslimin bila mayat itu tidak dikenal identitasdan ahli warisnya.
Perlu
ditegaskan bahwa semua bentuk donor organ yang disebutkan diatas tersebut harus bukan merupakan jual beli, karena jual
beli organ itu diharamkan.
Namun
pengeluaran jumlah tertentu dari penerima donor demi ungkapan rasa terima kasih
dan syukur kepada pihak donor, masih menjadi bahan perbedaan dan ijtihad para ulama’.
Perlu
saya ingatkan disini bahwa pendapatyang memperbolehkan donor organ tubuh itu
tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu
sebagaimana dita’rifkan fuqaha adalah tukar-menukar harta secara suka rela,
sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan
ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli[6].
Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi
dibeberapa daerah miskin, disana terdapat pasaryang mirip dengan pasar budak.
Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-rang lemah
untuk konsumsi orang-orang kaya yang tidak lepas dari campur tangan “mafia
baru” yang bersaing dengan mafia dalam masalah minim-minuman keras, ganja,
morfin, dan sebagainya.
Tetapi,
apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor
tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah,
dan pertolongan maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji
dan termasuk akhlak yang mulia. Hal inisama dengan pemberian orang yang
berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak
dipersyaratkan sebelumnya.
Hal
ini diperkenankan syara’ dan terpuji, bahkan Rosulullah saw. pernah
melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang
lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
“Sesungguhnya sebaik-baik yang diantara kamu ialah yang
lebih baik pembayaran utangnya.” (HR Ahmad, Bukhari,
Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Badan
manusia adalah wadah dari ruhnya. Ia berasal dari tanah dan dikembalikan ke
tanah. Namun demikian, badan tersebut harus tetap dihormati baik muslim maupun
non-muslim dalam keadaan hidup atau mati. Anggota badan manusia adalah milik Allah,
bukan milik selain-Nya, termasuk bukan milik yang bersangkutan atau keluarganya
apalagi milik orang lain. Karena ia bukan milik siapapun dari manusia, maka
Islam melarang memperjualkan manusia atau anggota tubuhnya, baik yang mati
diawetkan atau tidak lebih-lebih yang masih hidup.
Menjual ginjal
misalnya tidak dibenarkan dari segi syariat,walaupun dengan alasan
menyelamatkan jiwa orang lain. [7]
"Jual
beli organ tubuh itu jelas tidak boleh. Untuk itu harus
mendapat perhatian serius oleh pemerintah.
Memang kalau untuk mendonorkan untuk kesehatan, keluarga, dan ada kesepakatan itu boleh-boleh saja. Tapi kalau dijualbelikan, dikomersilkan walaupun dengan dalih untuk membantu orangtua itu tidak boleh," ungkap Rizal Kenedi, Kamis (7/1/2016).
Memang kalau untuk mendonorkan untuk kesehatan, keluarga, dan ada kesepakatan itu boleh-boleh saja. Tapi kalau dijualbelikan, dikomersilkan walaupun dengan dalih untuk membantu orangtua itu tidak boleh," ungkap Rizal Kenedi, Kamis (7/1/2016).
Apalagi dengan nantinya seseorang itu mendonorkan ginjalnya, berarti
ginjalnya akan tinggal satu. Ini dikhawatirkan akan membawa dampak risiko
kesehatan yang bersangkutan.
"Menjual
ginjal atau organ tubuh lainnya dilarang secara hukum. Adapun kalau mau donor
si pendonor harus memberi tahu dulu kepada Yayasan ginjal Indonesia di
Jakarta," katanya.
Hukum di Indonesia melarang keras jual beli organ atau jaringan tubuh
manusia.
Hal ini tidak diatur di dalam KUHP, tapi Undang-Undang nomor 36 Tahun
2009 Pasal 64 ayat (3) menyebutkan, "Organ dan/atau jaringan tubuh
dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun."
Dengan demikian, kegiatan memperjualbelikan organ dan/atau jaringan tubuh
manusia dikategorikan sebagai pidana khusus. Sedangkan ketentuan sanksi pidana
dari pasal tersebut terdapat pada Pasal 192 UU No 36 Tahun 2009 yang
menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau
jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."[8]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Jual
beli adala suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerina sesuai dengan perjanjian atau ketentuan
yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Hukum
dasar jual beli berdasarkan yang tertera pada Al-Quran yaitu terdapat pada Q.S
Al-Baqarah ayat 275 yang artinya :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba”. Selain
dalam Al-Quran, hadits juga menyebutkan bahwasanya “Jual beli itu akan sah
bila ada kerelaan”.
Sedangkan
mengenai hukum jual beli organ tubuh yaitu sebagai berikut keterangannya. Badan
manusia adalah wadah dari ruhnya. Ia berasal dari tanah dan dikembalikan ke
tanah. Namun demikian, badan tersebut harus tetap dihormati baik muslim maupun
non-muslim dalam keadaan hidup atau mati. Anggota badan manusia adalah milik
Allah, bukan milik selain-Nya, termasuk bukan milik yang bersangkutan atau
keluarganya apalagi milik orang lain. Karena ia bukan milik siapapun dari
manusia, maka Islam melarang memperjualkan manusia atau anggota tubuhnya, baik
yang mati diawetkan atau tidak lebih-lebih yang masih hidup.
Menjual
ginjal misalnya tidak dibenarkan dari segi syariat,walaupun dengan alasan
menyelamatkan jiwa orang lain.
B. Saran
Kami sebagai penulis menyarankan kepada
para pembaca setelah membaca makalah kami ini bahwa hendaklah berhati-hati
dalam melakukan setiap transaksi yang dilakukan saat jualbeli karena belum
tentu apa yang kita lakukan akan diperbolehkan oleh Allah SWT. Selain itu
semoga pembaca paham dan tidak melakukan transaksi jualbeli organ tubuh yang
tidak diperblehkan.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini
masih banyak kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca kami
mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan
diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Kami ucapkan
terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI. Al-Hikmah
Al-Quran dan terjemahnya. Bandung: Diponegoro
Haroen, Nasrun . Fiqh
Mu’amalah 12. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007
Sarwat, Ahmad lc. Fiqih
Komtemporer. DU CENTER.
Shihab, M. Quraish. Fatwa-fatwa
M.Quraish Shihab. Bandung : Mizan. 1999.
Suhendi, Hendi. Fiqh Mu’amalah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo. 2002
Syafei, Rachmat, Fiqh Mu’amalah.
Bandung: Pustaka Setia. 2001
Tribunnews.com
[1]
Nasrun Haroen, Fiqh Mu’amalah 12, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007).
hal. 111
[2]
Rachmat syafei, Fiqh Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001). hal. 73
[3]
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002). hal.
67-68
[4]
Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002). hal. 69
[5]
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Quran dan terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro). hal. 47
[6] Ahmad
Sarwat, lc, Fiqih Komtemporer, (:DU CENTER). hal. 46
[7] M.
Quraish Shihab, Fatwa-fatwa M.Quraish Shihab, (Bandung : Mizan,1999),
hal 327
[8] Palembang.tribunnews.com/2016/01/07/dengan-dalih-apapun-jualbeli-organ-tubuh-dilarang.
Diakses pada tanggal 7 maret 2018. 20:41
Komentar
Posting Komentar