jual beli


BAB 1
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
      Perdagangan atau jual beli dalam fiqih disebut dengan al-bai’ yang menurut epistemologi berarti menjual, mengganti dan menukar  sesuatu dengan sesuatu lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqih terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-syira yang berarti membeli dengan demikian, al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut hanafiah pengertian jual beli (al-bay) secara definitif yaitu tukar menukar harta benda atau suatu sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu  yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Menurut pasal 20 ayat 2 hukum ekonomi syari’ah ba’i adalah jual beli antara antara benda dan benda, atau pertukaran benda dengan uang. berdasarkan definisi diatas, maka pada intinya jual beli adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktekan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan barter yang terminologi fiqih disebut dengan ba’i muqayyadah. Meskipun jual beli dengan sistem barter telah ditinggalkan diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang esensi jual beli seperti tersebut masih berlaku sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar tetapi diperhitungkan dengan mata uang tertentu
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran, sunah Rasullah saw dan ijma’. Terdapat beberapa ayat alQuran dan sunah Rasullah saw, yang berbicara tentang jual beli antara lain:
Q.S Al baqarah :275                        
 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ   
(Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Q.S Al baqarah 275) dalam jual beli kita harus menggetahu bagaimana syarat –syarat sahnya jual beli dan  rukun rukun jual belinya. Serta ada maacam-macam jual beli yang perlu diketahui karna jual beli banyak manfaatnya maka jual beli diperbolehkan karna sesuai dengan dasar hukum yang ada.
 Dengan jual beli mmasyarakat bisa saling bisa mensetarakan ekonomi masyarakat



B.                                         RUMUSAN MASALAH
1.                                             Apa yang dimaksud  perdagangan atau jual beli?
2.                                             Bagaimana Dasar hukum jual beli?
3.                                             Bagaimana hukum jual beli?
4.                                             Apa saja rukun dan syarat syarat sahnya jual beli itu?
5.                                             Apa itu bentuk-bentuk jual beli yang dilarang?
6.                                             Sebutkan macam-macam  jual beli ?
7.                                             Apa manfaat dan hikmah jual beli?

C.       TUJUAN PEMBAHASAN
1.                                             Untuk mengetahui pengertian perdagangan atau jual beli
2.                                             Untuk mengetahui Dasar hukum jual beli
3.                                             Untuk mengetahui hukum jual beli
4.                                             Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli
5.                                             Bentuk-bentuk jual beli yang dilarang
6.                                             Untuk mengetahui macam-macam jual beli
7.                                             Untuk mengetahui manfaat dan hikmah jual beli















BAB II
PEMBAHASAN

A.       PENGERTIAN JUAL BELI
 Jual beli atau perdagangan dalam istilah  fiqih disebut dengan al-bai’ yang menurut epistemologi berarti menjual, mengganti dan menukar  sesuatu dengan sesuatu lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi fiqih terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-syira yang berarti membeli dengan demikian, al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut hanafiah pengertian jual beli (al-bay) secara definitif yaitu tukar menukar harta benda atau suatu sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu  yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Secara terminologi terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan para ulama fiqih, sekalipun subtstansi dan tujuan masing-masing definisi sama sayyid sabiq. Mendefinisikannya dengan:
 مبا د لة مل بما ل علي سبيل التراضي او نقل ملك بعرض علي الو جه الماء د  ون فيه
jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan .” Atau, memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. “
Dalam definisi diatas  terdapat kata “harta”, “milik” dengan” ganti” dan dapat dibenarkan”. (al-ma’dzunfih) yang dimaksud harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat, yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan deengan hibah (pemberian) sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (a-ma’dzun fih)agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
Definisi lain dikemukakan oleh ulama’ Hanafiyah yang dikutip oleh wahbah al-Zuhaily. Jual beli adalah:
 مبا د لة ما ل بما ل علي وجه مخصو ص اومبا د لة شيىء مر غو ب فيه بمثل على وجه مقيد مخصو ص
Saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu atau tukar-menukar sesuatu yang diinginkan dengan yang sepadan melalui tertentu yang bermanfaat.
Dalam definisi ini terkandung pengertian “ cara yang khusus “ yang dimaksud ulama’ Hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab dan kabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli. Disamping itu, harta yang diperjualbelikan harus bermanfaat bagi manusia,sehingga bangkai, minuman keras, darah tidak termasuk sesuatu yang  boleh diperjual belikan, karena benda-benda  itu tidak bermanfaat bagi muslim. Apabila jenis-jenis barang seperti itu tetap diperjualbelikan menurut ulama’ Hanafiyah, jual belinya tidak sah.
Definisi lain dari yang dikemukakan ibn Qudmah (salah seorang ulama’ malikiyah), yang dikutip oleh wahbah al zuhaily,”jual  beli adalah
 مبا د لة المال با لما ل تمليكا و تملكما
“saling menukar  harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.”
Dalam definis ini ditekankan kata “milik dan pemilikan “karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa menyewa (al-ijarah).[1]
Menurut pasal 20 ayat 2 hukum ekonomi syari’ah ba’i adalah jual beli antara antara benda dan benda, atau pertukaran benda dengan uang. berdasarkan definisi diatas, maka pada intinya jual beli adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktekan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar menukar barang, yaitu dengan barter yang terminologi fiqih disebut dengan ba’i muqayyadah. Meskipun jual beli dengan sistem barter telah ditinggalkan diganti dengan sistem mata uang, tetapi terkadang esensi jual beli seperti tersebut masih berlaku sekalipun untuk menentukan jumlah barang yang ditukar tetapi diperhitungkan dengan mata uang tertentu.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi sama.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
1.      Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
2.      Ulama hannafiyah
      Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
3.      Ulama’ ibnu Qamadah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa

Jadi jika difahami bahwasanya jual beli merupakan suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai ridha diantara kedua belah pihak yang satu menerima benda-benda dan  pihak lain menerima sesuatu yang sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang dibenarkan yang telah dibenarkan syara’[2]

B.  DASAR HUKUM JUAL BELI
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Quran, sunah Rasullah saw dan ijma’. Terdapat beberapa ayat alQuran dan sunah Rasullah saw, yang berbicara tentang jual beli antara lain:
1.      Q.S Al baqarah :275
                                    
 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ 
(Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Q.S Al baqarah 275)

2.      Dan firman Allah SWT Q.S annisa’ ayat 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Dasar hukum jual beli berdasarkan sunah Rasullah, antara lain:
1.      Hadits yang diriwatkan oleh rifa’ah ibn rafi’:
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ.

“Rifa’ah bin Rafi’i berkata bahwa Nabi SAW ditanya, “Apa mata pencaharian yang paling baik? “Nabi menjawab, “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati. “(Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim)

2.      Hadits dari al-Baihaqi , ibn Majah dan ibn Hibban, Rasullah menyatakan
 إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
 Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka

C.      HUKUM JUAL BELI
Dari kandungan ayat-ayat al-Quran dan sabda sabda Rasul di atas, para ulama’ fiqih mengatakan bahwa hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi tertentu, menurut Imam al-syathibi (w.790). pakar fiqih maliki, hukumnya boleh berubah menjadi wajib. Imam al-syathibi, memberi contoh ketika terjadi ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga barang yang ditimbun dan sisimpan itu maka menurutnya, pihak pemerintah boleh memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual barangnya sesuai  dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sesuai dengan prinsip al-syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total, maka hukumnya boleh menjadiwajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya demikian pula pada kondisi-kondisi lainnya.[3]

D.      RUKUN JUAL BELI
Dalam perdagangan kita harus memperhatikan rukun jual beli dan syarat-syarat sahnya dalam jual beli harus terpenuhi agar perdagang itu dihalalkan menurut Allah SWT dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama’ hanafiyah dengan jumhur ulama’. Ruku jual beli menurut ulama’ Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qobul, 
Ijab adalah ungkapan membeli dan pembeli, dan qobul adalah ungkapan menjual dari penjual menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli Akan tetapi karena kerelaan itu merupakan unsur hati sehingga tidak terlihat maka diperlukan indeksi yang menunjukkan kerelaan itu kedua belah pihak indikasi yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh dibuktikan dengan cara ijab qobul. Atau melalui cara pemberian barang dengan harga barang.
Akan tetapi jumhur ulama’ menyatakan bahwa rukun jual beli itu sebagai berikut:
1.      Ada orang yang  yang berakad (ada penjual dan pembeli)
2.      Ada sighat (lafal ijab qobul) sebagai bukti kerelaan dari kedua belah pihak
3.      Ada barang/harta yang diperjual belikan
4.      Ada uang atau alat bayar yang digunakan sebagai penukar barang
Menurut ulama’ Hanafiyah,orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam syarat-syarat jual beli bukan rukun jual beli.

Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas sebagai berikut:
a)   Syarat-syarat orang yang berkad
Para Ulama fikih sepakat bahwa orang yang melakukan jual beli itu harus memenuhi syarat yaitu :
1.    Berakal sehat
Jumhul ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus telah balig dan berakal, Apabila orang yang berakal itu masih mumayiz maka jual belinya tidak sah sekalipun mendapat izin dari walinya,
2.    Atas dasar suka sama suka
 yaitu kehendak diri sendiri bukan karena paksaan orang lain atau bukan karna dipaksa dari pihak manapun.
3.    Yang melakukan akad itu orang yang berbeda
maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual  sekaligus sebagai pembeli.
b)  Syarat-syarat yang terkait dalam ijab Kabul
1.    Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal
2.    Kabul sesuai dengan yang berijab, apabila antara ijab dan qobul tidak sesuai maka jual beli tidak dikatakan sah
3.    Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis (tempat), maksudnya kedua belah pihak yang melakukan hadir dan saling membicarakan dan bersepakat tentang masalah tersebut.

c)    Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
1.    Suci, dalam islam tidak sah melakukan jual beli barang najis, seperti bangkai, babi, anjing dan  sebagainya.
2.    Barang yang dijual belikan merupakan milik  sendiri atau diberi kuasa orang lain yang memilikinya.
3.    Barang yang dijualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak ada manfaatnya  adalah lalat, nyamuk, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini tidak sah diperjualbelikan akan tetapi jika kemudian hari barang tersebut bermanfaat akibat perkembangan teknologi maka atau lainnya maka barang tersebut sah diperjualbelikan.
4.    Barang yang diperjualbelikan harus jelas . contohnya  jika jual beli buah yang masih berbunga belum berwujud akan adanya , dan jual beli burung yang masih berkeliaran diangkasa maka jual belinya tidak sah karna belum ada wujudnya.
5.    Barang yang diperjualbelikan dapat diketahu kadarnya, sifatnya, jenisnya dan harganya.

d)   syarat-syarat nilai tukar harga barang
nilai tukar barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang) para ulama’ fiqih membedakan al-tsaman dengan al-si’r menurut mereka al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat sedangkan al-sir adalah modal barang yang seharusnya diterima pedagang sebelum dijual ke konsumen dengan demikian, harga barang itu ada dua:
yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar).
Syarat-syarat nilai tukar (harga barang ) yaitu:
1.      harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya
2.      boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum pembayaran dengan cek dan kredit Apabila harga barang itu dibayar kemudian ( berutang) maka harga barang itu harus jelas.
3.    Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar barang yang diharamkan oleh syara’ seperti babi, dan khamar karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’ [4]

E.            MACAM MACAM JUAL BELI
Jual beli dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu:
a.    Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1.        Jual beli benda yang kelihatan,
yaitu jual beli yang pada waktu akad,baragnya ada / bisa dilihat oleh pejual dan pembeli
2.        Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan.
Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad yang berlangsung.
b.    Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli
1.    Dengan lisan,
akad yang dilkukan dengan lisan atau perkataan contohnya bila itu terjadi  pada orang bisu maka jual belinya boleh dengan isyarat
2.    Dengan perantara
 misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini biasanya diulakukan oleh penjual dan pembeli , tidak dalam satu majlis akad tetapi ini diperbolehkan menurut syara’
3.    Jual beli dengan perbuatan,
yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul misalnya :seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya menurut sebagian ulama’ syafi’iyah hal ini dilarang karena ijab qobul adalah rukun dan syaratnya jual beli  tetapi Sebagian syafiiyah lainnya seperti imam Nahrawi membolehkannya.
c.    Ditinjau Dari segi Hukum
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah tergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli
Yang telah dijelaskan Diatas dari suudut pandang ini jumhur ulama’ membaginya menjadi dua, yaitu:
1.      Shahih yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2.      Ghairu shahih yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya
Sedangkan fuqaha atau ulama’. Hanafiyah membedakan jual beli menajdi tiga :
1)      Shahih yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukun
2)      Bathil yaitu  jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat jual beli dan ini tidak diperkenankan oleh syara’ Misalnya:
a)      Jual beli atas barang yang tidak ada (ba’i alma’dzun) seperti jual beli janin yang didalamperut ibu dan jual beli buah yang belum ketahuan kejelasanya.
b)      Jual beli yang zatnya halal dan haram dan najis ,sepeti babi bangkai dan khamar
c)      Jual beli bersyarat yaitu jual beli yang ijab qobulnya dikaitkan dengan syarat-syaratnya tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli
d)     Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti: patung, salib dll.
e)      Jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya seperti: menjual anak
binatang yang belum bisa dipisahkan dengan induknya
3)      Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat yang menghalangi keabsahanya:
a.       Jual beli yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan saat akad berlangsung
b.      Jual beli dengan menghadang pedagang di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebulum sampai kepasar agar dapat harga yang lebih murah
c.       Membeli barang dengan cara memborong untuk ditimbun kemudian akan dijual jika barang tersebut hargsnya naik
d.      Jual beli barang  rampasan /curian
e.       Menawar barang yang ditawar orang lain

F.       BENTUk-BENTUK JUAL BELI YANG DILARANG

a)        Jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukun
Bentuk jual beli terlarang karena tidak memenuhi syarat dan rukun. Bentuk jual beli yang  termasuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut :
1.    Jual beli barang yang zatnya, haram, najis, atau tidak diperboleh jualbelikan
Adapun bentuk jual beli yang dilarang karena barangnya yang tidak boleh diperjual belikan yaitu air susu dan airmani (sperma binatang).
2.    Jual beli yang dilarang karena belum jelas (samar-samar) antara lain:
a.    Jual beli buah-buahan yang belum tampak hasilnya  misalnya.
b.    Jual beli barang yang belum tampak. Misalnya: menjual ikan di kolam/ laut/ubi/singkong/ yang masih ditanam, dan anak ternak yang masih dalam kandungan induknya.
3.    Jual beli bersyarat
4.    Jual beli yang menimbulkan kemudaratan
5.    Jual beli yang dilarang karena dianiaya
6.    Jual beli muhalaqah:yaitu menjual tanam-tanaman yang masih disawah atau diladang
7.    Jualbeli mukhadarah, yaitu menjual buah-buahan yang masih hijau
8.    Jual beli mulamasah : yaitu jual beli secara sentuh menyentuh atau
9.    Jual beli muadzanah: yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering
10.    Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar melempar
b)             Jual beli yang dilarang karna ada faktor lain yang merugikan pihak-pihak terkait, antara lain:
1.      Jual beli dari orang yang masih ditawar
2.      Jual beli yang mengahadang dagangan di luar kota/pasar
3.      Membeli barang yang diborong untuk ditimbun, kemudian akan diual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut
Jual beli barang rampasan dan curian.

G.  MANFAAT DAN HIKMAH  JUAL BELI
Ø  Manfaat jual beli banyak sekali antara lain:
a.    Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai
b.    Penjual dan pembeli bisa dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar suka sama suka
c.    Masing-masing pihak merasa puas Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhls dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima barang dagangan dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari.
d.   Dapat menjauhkan diri dari memakan dan memiliki barang yang haram
e.    Penjual an pembeli mendapat rahmat Allah swt.
f.      Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
Ø  Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut:
Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan
Kepada hamba-hambanya karena mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, tak ada satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya. [5]

















BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Jual beli itu diperbolehkan dalam islam . hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencakup kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahim namun demikian jual beli tidak semua diperbolehkan ada jual beli yang tidak diperbolehkan karena tidak memenuhi syarat . rukun  jual beli adalah adanya, akad, (ijab qobul ) adanya pembeli dan ada yang penjual. Yang semuanya itu memenuhi syarat-syarat harus terpenuhi. Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
B.  SARAN
Dalam kehidupan sekarang banyak-orang yang bernondong-bondong untuk memiliki toko dan berjualan tetapi tidak semua toko itu bisa jujur dalam proses berjualan ada yang memilih perbuatan yang tidak baik dengan cara menipun orang dalam kasus jual beli karna dengan seiring modernnya zaman banyak jual beli yang menggunakan jasa online padahal rsullah telah mengajarkan kita semua untuk berdagang  yang jujur dan secara rukun dan syarat-syaratnya kita sebagai pembeli harus berhati-hati dalam jual beli dan buat para pedagang rajin-rajinlah berdoa agar dijauhkan dari perbuatan-perbuatan yang haram menurut Allah jika ingin berdagang maka pilihlah jalan yang halal.


[1] Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih muamalat, 2010.kencana Pradana,.hal 67
[2] Mardani, FIQIH EKONOMI SYARRIAH, kencana pranamaedia,2012,hal.102
                                                   
[3] Ibid. Hal.108
[4] Bakri dan sufyana. M, FIQIH ISLAM. Sinar baru  Algensindo, bandung,2012. Hal 279
[5]  Muhammad yazid, fiqih muamalah ekonomi syariah, Imtiyaz, 2017,hal18.

Komentar