kekerasan dalam rumah tangga


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kekerasan dalam rumah tangga mengandung sesuatu yang khusus. Kekhususan melibatkan antara pelaku dan korban, yaitu hubungan kekeluargaan. Keluarga adalah makhluk sosial (masyarakat) kecil berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan. Keluarga membutuhkan perkumpulan tersendiri dan memerlukan seorang kepala rumah tangga yang memimpin keluarga. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak, anggota keluarga merupakan sebuah kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik sesuai perannya. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota. Sebuah keluarga terlihat harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia tanpa adanya konflik, ketegangan, dan kekerasan seluruh anggota keluarga
Konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan peristiwa yang wajar. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya. Apabila masalah diselesaikan secara baik, maka setiap keluarga  memperoleh pelajaran yang berharga yaitu menyadari perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi apabila anggota keluarga tidak mengutamakan keegoisan, menemukan akar permasalahan dan membuat solusi yang menguntungkan keluarga. Tetapi, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan sering terjadi dalam keluarga.
Dalam pembahasan makalah ini, penulis membuka persoalan hokum untuk melindungi dan menangani kasus-kasus KDRT. Sebagai warga negara memiliki hak apabila kekerasan terjadi terhadapnya.


B.     RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah di atas adalah
1.      Apa Pengertian Tindak Kekerasan?
2.      Apa Pengertian Rumah Tangga?
3.      Apa Saja yang Menjadi Faktor-Faktor KDRT?
4.      Apa Saja Bentuk-Bentuk KDRT?
5.      Bagaimana Perspektif Hukum dan Undang-Undang KDRT?
6.      Apa Saja Upaya Kasus KDRT?

C.    TUJUAN
Tujuan dari rumusan  masalah di atas yaitu
1.      Untuk Memahami Pengertian Tindak Kekerasan.
2.      Untuk Memahami Pengertian Rumah Tangga.
3.      Dapat Menyebutkan Faktor-Faktor KDRT.
4.      Dapat Menyebutkan Bentuk-Bentuk KDRT.
5.      Dapat Memahami Perspektif Hukum dan Undang-Undang KDRT.
6.      Dapat Menyebutkan Upaya Kasus KDRT.

D.    MANFAAT
Adapun manfaat yang dapat diambil dari makalah ini adalah :
Bagi pembaca :
1.      Dapat mengurangi tingkat kasus KDRT
2.      Dapat memaahami pentingnya tanggungjawab dalam keluarga
3.      Dapat meningkatkan tingkat keharmonisan dalam keluarga
Bagi penulis :
1.      Dapat memberikan informasi mengenai KDRT yang sering terjadi dalam hubuingan keluarga
2.      Belajar memahami persoalan KDRT beserta solusinya
3.      Membuka pikiran untuk memahami persoalan KDRT


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.     PENGERTIAN TINDAK KEKERASAN
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk perbuatan yang baru. Meskipun pada dasarnya bentuk perbuatan kekerasan ini dapat ditemui dan terkait pada perbuatan pidana tertentu, seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan pencurian. Pengertian kekerasan dapat dijupai pada pasal 89 kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”.[1]
Terminologi kekerasan terhadap perempuan mempunyai ciri bahwa tindakan tersebut :
1.      Dapat berupa fisik maupun nonfisik
2.      Dapat dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat)
3.      Dikehendaki/diminati oleh pelaku
4.      Ada akibat/kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis), yang tudak dikehendaki oleh korban
Menurut pasal 2 Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan dijelaskan bahwa : “kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdakaan secara sewenang-wenang baik terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.[2]




B.     PENGERTIAN RUMAH TANGGA
Rumah tangga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat yang terbentuk adanya perkawinan. Anggota rumah tangga adalah ayah, ibu dan anak.
Dalam pasal 1 ke 30 Undang-Undang Hukum Acara Pidana berbunyi : “Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan perkawinan”.[3]

C.     FAKTOR-FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Menurut Lembaga Bantuan Hukum Untuk Perempuan dan Keluarga (LBHUPK), penyebab terjadinya kekerasan rumah tangga digolongkan menjadi 2 (dua) faktor, yaitu :
1.      Faktor internal, menyangkut kepribadian dari pelaku kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindakan kekerasan bila menghadapi situasi yang menimbulkan kemarahan dan frustasi. Kepribadian yang agresif dibentuk melualui interaksi dalam keluarga atau lingkungan sosial di masa kanak-kanak. Kekerasan biasanya bersifat turun-menurun, sebab anak-anak akan belajar bagaimana akan berhadapan dengan lingkungan dari orangtuanya. Apabila tindakan kekerasan sering terjadi dalam keluarga, kemungkinan besar anak-anak akan melakukan kekerasan setelah mereka mnikah nanti.
2.      Faktor eksternal,faktor di luar diri pelaku kekerasan. Misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang, dan sebagainya. Faktor lingkungan lain seperti stereotype bahwa laki-laki adalah tokoh yang dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan harus bertindak pasif, lemah lembut dan mengalah. Hal ini menyebabkan kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami.[4]


3.      Masalah keuangan
Gaji yang tidak memenuhi untuk kebutuhan rumah tangga menimbulkan pertengkaran, suami kehilangan pekerjaan (PHK), ditambah tuntutan biaya yang tinggi menimbulkan pertengkaran.
4.      Cemburu
Kecemburuan salah satu timbulnya kesalahpahaman, perselisahan bahkan perpisahan
5.      Masalah anak
Terdapat perbedaan pola pendidikan terhadap anak antara suami dan istri. Berlaku baik anak kandung maupun anak asuh.
6.      Masalah orangtua
Orang tua yang selalu ikut campur dalam rumah tangga anaknya, misalnya keuangan, pendidikan anak, pekerjaan, yang mengakibatkan pertengkaran.
7.      Masalah saudara
Campur tangan saudara dalam hidup rumah tangga dan tinggal satu atap yang juga mengakibatkan keretakan rumah tangga.
8.      Masalah sopan santun
Suami dan istri berasal dari latar keluarga yang berbeda, untuk itu perlu adanya upaya saling menyesuaikan diri. Kalau hal ini diabaikan akan mengakibatkan pertengkaran dan kekerasan psikis.
9.      Masalah masa lalu
Sebelum menjadi suami dan istri harus saling terbuka, masing-masing menceritakan masa lalunya. Pada kenyataannya cerita yang diperoleh dari pihak ketiga sudah tidak realistis, yang mendorong terjadinya perselisahan dan pertengkaran.
10.  Masalah salah paham
Suami istri saling menghormati pendapat masing-masing pihak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Kesalahpahaman yang tidak segera diselesaikan akan mengakibatkan pertengkaran.


11.  Masalah tidak memasak
Suami yang hanya mau makan masakan istri sendiri, dan istri tidak bisa masak. Sikap suami seperti ini sikap dominan yaitu mengharapkan istri berada dalam rumah tangga. Karena saat ini istri tidak dituntut untuk dalam rumah tangga saja.
12.  Suami mau menang sendiri
Suami merasa “lebih” daripada istri. Suami menginginkan semua kehendaknya adalah “undang-undang”, simana semua orang harus tunduk padanya.[5]

D.     BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dari bebrbagai kasus yang terjadi di Indonesia, bentuk KDRT berikut ini.
1.      Kekerasan Fisik
a.       Pembunuhan
1)      Suami terhadap istri, atau sebaliknya
2)      Ayah terhadap anak, atau sebaliknya
3)      Ibu terhadap anak, atau sebaliknya
4)      Adik terhadap kakak, atau sebaliknya
b.      Penganiayaan
1)      Suami terhadap istri, atau sebaliknya
2)      Ayah terhadap anak, atau sebaliknya
3)      Ibu terhadap anak, atau sebaliknya
4)      Adik terhadap kakak, atau sebaliknya
c.       Perkosaan
1)      Ayah terhadap anak perempuannya
2)      Suami terhadap adik/kakak iparnya
3)      Kakak terhadap adik
4)      Suami terhadap pembantu

2.      Kekerasan Nonfisik/Psikis/Emosional
a.       Penghinaan
b.      Komentar yang bersifat merendahkan dan melukai istri
c.       Ancaman mengembalikan istri ke orang tuanya
d.      Akan menceraikan
e.       Mesmisahkan istri dari anak-anaknya
3.      Kekerasan seksual
a.       Pengisolasian istri dan kebutuhan batinnya
b.      Pemaksaan hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri
c.       Pemaksaan hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri, ketika sakit atau menstruasi
d.      Memaksa istri menjadi pelacur
4.      Kekerasan ekonomi
a.       Tidak memberi nafkah pada istri
b.      Memanfaatkan ketergantungan istri/mengontrol kebutuhan istri
c.       Membiarkan istri bekerja dan hasilnya dikuasai oleh suami[6]

E.     PERSPEKTIF HUKUM DAN UNDANG-UNDANG KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. [7]
Dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT, dan UU no. 23 tahun 2002 : tentang perlindungan anak.[8] Terdapat sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2,6 diantarannya :
1)      pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak  penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri
2)      pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik
3)      pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT
4)      KUHP pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289, dan 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak
5)      pasal 81 dan 82 UU no. 23 tahun 202 dan pasal 287 dan 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. namun belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU penghapusan KDRT.[9]

F.      UPAYA KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
1)      Pertama, menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan kewajibannya dengan baik sebagai suami-istri. Peringatan yang diberikan sepatutnya mengarahkan kepada pemulihan hubungan dalam rumah tangga. Disini suami dituntut bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Tegas bukan berarti kasar.
2)      Kedua, berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama tidak mempan. Kalimat “وَهْجَرُوْهُنَّ” (pisahkan mereka) dalam surat An-Nisa ayat 34 ditafsirkan
اَلرِّ جَالُ قَوَّا مُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَ نْفَقُوْا مِنْ اَمْوَا لِهِمْۗ   فَا لصّلِحتُ قنِتتٌ حفِظتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ ۗ وَا لّتِى تَخَا فُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجَرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْاعَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّاكَبِيْرًا (34)
“laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan yang shaleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka yang di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar. (An-Nisa : 34)[10]
sebagian ulama sebagai tindakan seorang suami tidak melakukan hubungan seksual atau tidak diajak bicara sekalipun tetap berhubungan seksual. Bisa juga suami boleh tidur bersama sampai istri kembali taat. Atau tidak didekatkan ranjangnya dengan isteri.[11]
3)      Konvensi penghapusan segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan sesuai Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984.[12]
4)      Seorang perempuan apabila tidak suka kepada suaminya tidak sanggup bergaul bersama, diperkenankan menebus dirinya dan membeli kemerdekaannya dengan mengembalikan harta yang pernah dihadiahkan dengan sedikit berkurang atau lebih menurut kesepakatan bersama. Akan tetapi, yang lebih baik laki-laki tidak mengambil lebih dari apa yang pernah diberikan. Firman Allah :
فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّايُقِيْمَاحُدُوْدَاللهِ ۙ فَلَاجُنَاحَ عَلَيْهِمَافِيْمَاافْتَدَتْ بِه ۗ ( البقر ة 229 )
“jika kamu kuatir berdua tidak dapat menegakkan batas ketentuan Allah, maka tidak dosa atas keduanya tentang sesuatu yang ia menebus dengannya”. ( al-baqarah : 229 )[13]
Demikian, istri tidak dibenarkan cepat-cepat minta cerai tanpa alasan yang dapat dibenarkan dan tanpa suatu pendorong yang dapat diterima yang membawa kepada perceraian antara keduanya.
اَيُّمَامْرَأَةٍسَأَلَتْ زَوْجَهَاطَلَاقًافِي غَيْرِمَابَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَارَائِحَةُ الْجَنَّةُ ( رواه ابو دا ود )
 “siapa saja perempuan yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab yang dapat dibenarkan, maka dia tidak akan mencium bau surga”. (Riwayat Abu Daud).[14]
5)      Hak dan Kewajiban dalam Pergaulan Antara Suami-Isteri
Perkawinan merupakan suatu ikatan perjanjian yang telah diikat oleh Allah antara seorang pria dengan seorang wanita. Sesudah melakukan akad, masing-masing disebut suami dan isteri atau zauj dan zaujah, yang artinya genap. Masing-masing dalam hitungan adalah single, tetapi dalam timbangannya adalah double. Karena masing-masing mencerminkan yang lain, dan bertanggung jawab terhadap penderitaan dam cita-citanya. Al-Quran menggambarkan ke kuatan ikatan antara suami-isteri ini dengan suatu kiasan, “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.(al-Baqarah : 187). Redaksi ini menunjukkan sebuah ungkapan yang memiliki makna perpaduan, penutupan, perlindungan, dan perhiasan yang harus diwujudkan oleh masing-masing suami isteri.
Oleh karena itu, masing-masing suami-isteri mempunyai hak dan kewajiban yang harus dijaga baik-baik dan tidak boleh diabaikannya. Hak dan kewajiban ini berlaku sama, kecuali yang memang secara fitrah dikhususkan untuk laki-laki, seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya.
dan para wanita mempunyaihak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (al-Baqarah: 228)
Kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini, yaitu kelebihan mengurus dan bertanggung jawab. Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw.,
Ya Rasulullah, Apakah hak seorang isteri terhadap suami? Maka beliau menjawab: engkau beri makan dia apabila eengkau mkan, dan engkau beri pakaian dia apabila engkau beri pakaian. Jangan kau tampar mukanya, jangan engkau jelek-jelekkan, dan jangan engkau berpisah dengan dia melainkan dalam rumah.” (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Hibban).[15]
Seorang suami muslim tidak dibenarkan mengabaikan masalah nafkah dan pakaian isteri. Nabi saw. Bersabda, “Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya.( Riwayat Abu Daud, Nasa’I dan Hakim). Tidak dibenarkan pula seorang muslim menampar muka isterinya. Tindakan tersebut dianggap suatu penghinaan, karena muka adalah anggota yang menjadi pusat kecantikan tubuh. Apabila seorang muslim di perkenankan untuk membersihkan pendidikan kepada isterinya yang durhaka, maka ia tidak diperkenankan memukul yang dapat menyakitikan atau menampar muka dan tempat-tempat yang dapat membawa ajalnya.
Disamping itu, tidak pula diperkanankan seorang muslim menjelek-jelekkan isterinya, baik dengan mengata-ngatai atau ucapan-ucapan yang tidak pantas disengar, misalnya :Dasar jelek!”, atau ungkapan-ungkapan sejenisnya. Kewajiban isteri terhadap suaminya, yaitu sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad saw.,
Tidak halal bagi seorang isteri yang beriman kepada Allah, member izin (kepada laki-laki lain) dalam rumah suami sedang suami tidak suka; dan tidak halal dia keluar rumah sedang suami tidak suka; dan tidak halal dia meninggalkan ranjang suami; dan tidak halal dia memukul suaminya. Kalau suami berlaku zalim, maka datangilah sehingga menjadi senang; dan jika dia dapat menerimanya maka dia adalah perempuan yang baik dan semoga Allah menerima uzurnya dan menampakkan alasannya. Tetapi jikasuami tidak rela, maka uzurnya itu telah ia sampaikan kepada Allah.” (Riwayat Hakim)
6)      Suami-Isteri Harus Sabar
Seorang suami harus berlaku sabar terhadap isterinya jika adasesuatu pelayanan isteri yang kurang menyenangkan. Karena isterinya juga sebagai manusia biasa tdak luput dare kekurangan. Sedang di balik kesalahan dan kekurangan itu, sang isteri mempunyai kelebihan-kelebihanlainnya.Dalam haditsmya Rasulullah saw. Bersabda,
“Seorang  mukmin (suami) tidak boleh membenci seorang mukminah (isteri), jika dia tidak menyukai lantaran sesuatu perangainya, maka dia akan senang pada peranginya yang lain.( Riwayat Muslim)
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah men jadikan padanya kebaikkan yang banyak.” (An-Nisa’:19)
Sebagaimana suami disuruh sabar terhadap sesuatu yang tidak disukai dare isterinya, maka seorang isteripun diperintah supaya member kesenangan kepada suaminya semampu mungkin. Jangan sampai seorang isteri tidur malam, sedang suaminya dalam keadaan marah. Dalam hadits Nabi dikatakan,
Ada tiga orang yang sembah yang itu tidak dapat melebihi kepalanya walaupun hanya sejengkal, yaitu: 1) Seorang laki-laki yang menjadi imam pada suatu kaumsedang kaum itu tidak suka, 2) Seorang perempuan yang tidur malam sedang suaminya murka kepadanya. 3) Dua saudara yang saling bermusuhan.(Riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).[16]
7)      Pergaulan baik antara suami istri
Perkawinan merupakan pokok utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan yang akan merupakan susunan masyarakat kecil, dan nantinya akan menjadi masyarakat yang luas. Tercapainya tujuan bergantung pada erat hubungan antara kedua  suami istri dan pergaulan baik antara keduanya. Dan tetap menjalankan kewajibannya sebagai suami istri yang baik.[17]

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Suami dan istri harus banyak berkomunikasi dan mempelajari hidup berkeluarga dengan baik, belajar seperti membaca wawasan tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan antara suami-istri, bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.. Seorang suami istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas.
Maka, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan.. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.

B.      SARAN
Demikian yang dapat saya jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu saya senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.









DAFTAR PUSTAKA

al-Thabary Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Jilid V
Hdiati Soeroso, Moerti. 2010. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Jakarta : Sinar Grafika
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Republik Indonesia, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
Republik Indonesia , Undang – Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Republik Indonesia, Undang – Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Qardhawi, Yusuf. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Surabaya : Bina Ilmu Offset
Qardhawi, Yusuf. 2007. Halal dan HaramI. Bandung : Jabal
Qur’an dan terjemahan


[1] Moerti Hdiati Soeroso. 2010. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm 58
[2] Ibid.  Hlm 60
[3] Ibid.  Hlm 61
[4] Ibid. hlm 75
[5]Ibid.. Hlm 80
[6] Ibid.. Hlm 82
[7] Ibid.  Hlm 154
[8] Republik Indonesia, Undang – Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang – Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[9] Republik Indonesia, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
[10] Qur’an dan terjemahan
[11] al-Thabary Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil ‘Ayil Qur’an, Jilid V, hal : 64
[12] Moerti Hdiati Soeroso. Op. cit. Hml 138
[13] Qur’an dan terjemahan
[14] Yusuf Qardhawi. 2003. Halal Haram Dalam Islam. Surabaya : Bina Ilmu Offset. Hlm 303
[15] Yusuf Qardhawi. 2007. Halal dan HaramI. Bndung : Jabal. Hlm 210
[16] Ibid.  Hlm 212
[17] Sulaiman Rasjid. 2012. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Hlm 399

Komentar