pernikahan lintas agama


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Banyak berita yang tersebar mengenai pernikahan antar dua pasangan berbeda atau lintas agama (Islam dan Non-islam). Mungkin juga ada di lingkungan sekitar kita, teman-teman, tetangga, atau bahkan dikalangan keluarga ada yang telah melakukannya. Semakin sering itu terjadi, maka itu terlihat sebagai sesuatu yang telah dianggap biasa oleh masyarakat, hingga para pemuda dan pemudi muslim yang awam Ilmu Agama bisa mengganggapnya itu bukan menjadi masalah namun dianggap remeh, alias sah-sah saja.
            Dalam ajaran agama islam maksud perkawinan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan keturunan, dalam suasana yang Mawaddah (saling mencintai) Rahmah (saling kasih sayang) antara suami dan istri. Hal ini seperti maksud dalam Q.S. Al-Rum : 21. Menurut Pandangan Islam, tujuan perkawinan tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami dan istri tersebut berpegang teguh pada ajaran agamanya. Jika agama keduanya berbeda, maka akan timbul dengan berbagai permasalahan dalam keluarga itu, misalnya dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi agama, dan lain sebagainya. Islam dengan tegas melarang wanita Islam menikah dengan Pria Non-Islam, baik Musyrik maupun Ahlul Kitab begitulah sebaliknya pada seorang pria Islam dilarang menikahi wanita Musyrik. Karena kedua bentuk perkawinan ini mutlak diharamkan. Jadi barang siapa yang melakukan sesuatu yang haram, maka dia akan berdosa. Akhir akhir ini kita sering mendapati orang-orang disekeling kita, tetangga atau teman yang menikah dengan orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Lalu bolehkah menurut Hukum Islam seorang muslim baik pria maupun wanita menikah dengan orang yang berbeda agama? Apakah Islam membolehkan pernikahan lintas agama? Melalui makalah sederhana ini, penyusun akan menguraikan sedikit  tentang Hukum pernikahan lintas agama.

B.     RUMUSAN MASALAH
Dari penjelasan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat kami rumuskan adalah sebagai berikut :
  1. Apa pengertian nikah ?
  2. Apa pandangan Islam mengenai pernikahan lintas Agama?
  3. Apa tujuan dari pernikahan?
  4. Apa hukum pernikahan beda agama secara umum dan hukum menurut pandangan islam?
  5. Adakah dalil mengenai pernikahan beda agama ?
C.    TUJUAN PENULISAN
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui pengertian nikah
  2. Untuk memahami pandangan Islam mengenai pernikahan lintas agama
  3. Untuk mengetahui tujuan pernikahan
  4. Untuk mengetahui hukum pernikahan
  5. Untuk mengetahui dalil mengenai pernikahan beda agama
D.    MANFAAT PENULISAN
Dari rumusan masalah dan tujuan, dapat diketahui manfaat penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
·         Bagi Penulis
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan penulis dapat menambah pengetahuan mengenai hukum pernikahan lintas agama.
·         Bagi Pembaca
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang pengertian, tujuan, rukun, syarat, dan hukum pernikahan lintas agama menurut syari’at Islam, sehingga pembaca dapat mengetahui dengan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN PERNIKAHAN
Menurut bahasa “Nikah” berarti terkumpul atau menyatu, menjodohkan atau bersenggama (wathi’). Menurut istilah syari’at Islam pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan. Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan yang sempurna. Pernikahan itu bukan merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur suatu kehidupan rumah tangga dan keturunannya, tetapi juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara kaum satu dengan kaum lainnya, dari perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lain.[1]
Definisi nikah sebagai berikut :
“Nikah menurut bahasa ialah kumpul atau ungkapan mengenai Wathi’ (Jima’) dan akad secara bersamaan, dan nikah menurut syari’at islam adalah ikatan perkawinan”.[2]
Adapun kaidah umum tentang perkawinan di luar islam :
  Perkawinan orang-orang kafir tidak pernah dipersoalkan oleh Rasulullah SAW. Tetapi yang dipersoalkan ialah persoalan masuknya suami ke dalam Islam. Jika ia bersama istrinya masuk Islam sesuai dengan ajaran agama Islam yang benar, maka keduanya diakui ikatan perkawinannya pernah terjadi pada zaman dahulu (Jahiliyyah) dan tanpa memenuhi syarat-syarat hukum islam seperti wali, para saksi, dan lain-lain.[3]

B.     PANDANGAN ISLAM MENGENAI PERNIKAHAN LINTAS AGAMA
Dalam ajaran Islam, menikah bukan hanya menyatukan dua manusia, melainkan ada aturan atauran yang harus diperhatikan, sehingga dengan aturan aturan itu menimbulkan adanya pernikahan yang sah dan tidak sah, serta pernikahan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan, lantas bagaimana dengan pernikahan beda agama ?
Pada dasarnya ulama membolehkan menikah beda agama, namun dengan kondisi seorang Muslim laki-laki menikah dengan wanita Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi). Jika Suami Islam menikah dengan istri ahli kitab maka boleh. Dalam beberapa pendapat dan kitab-kitab Tafsir disebutkan perbedaan pendapat apakah selain wanita Ahli Kitab, seorang Muslim boleh menikahinya? Artinya ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi wanita Non-muslim yang selain dari Ahli Kitab.
Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya mendefinisikan, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Adapun jika keadaannya terbalik, wanita muslim menikahi laki laki non-Muslim (kafir / musyrik) menurut Ulama: tidak diperbolehkan seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, apapun jenis ke non-Muslimannya. Entah itu dia seorang Nasrani, Yahudi, Budha, Hindu atau agama pun, yang penting ia bukanlah seorang Muslim.
Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Nabi Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik.[4]
C.    TUJUAN PERNIKAHAN
Pada umumnya tujuan nikah bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subyektif. Namun, ada juga tujuan yang lain diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Berdasarkan pengertian di atas, disimpulkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut syari’:
  1. Menegakkan rumah tangga yang Islami
  2. Menghasilkan keturunan yang sah secara biologis dan secara syari’at
  3. Memenuhi fitrah manusia
a.       Rasa cinta diri atau kecenderungan
b.      Semangat saling memberi cinta (Mawaddah)
c.       Semangat saling melindungi (rahmah)
d.      Semangat saling menerima apa adanya (Radhiya)
4.      Membentengi Akhlaq mulia
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian memiliki kemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena menikah lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum  itu dapat membentengi dirinya”
5.      Mewujudkan kehidupan keluarga
Dalam memilih pasangan untuk hidup berumah tangga ,gunanya untuk membangun dan mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
6.      Meningkatkan komitmen ibadah
7.      Dalam ajaran islam, dijelaskan bahwa hidup dan kehidupan manusia sebagaimana dapat diselamatkan kepada kaum jin semata-mata sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia.
8.      Melahirkan Generasi Shalihin
Salah satu tujuan pernikahan antara lain untuk melestarikan dan mengembangbiakan keturunan anak Adam AS. Sebaagai generasi shalihin, yang diharapkan menjadi penerus perjuangan yang mengibarkan syi’ar Islam.[5]

D.    HIKMAH PERNIKAHAN :
1.      Pernikahan adalah pembentukan lingkungan yang baik untuk mengikat tali kekeluargaan, saling mencintai, menjaga diri, dan membentenginya dari hal-hal yang diharamkan
2.      Pernikahan merupakan sarana yang paling baik untuk melahirkan anak-anak, memperbanyak keturunan dengan tetap menjaga kebutuhan nasab
3.      Pernikahan menjadi sarana yang paling baik untuk menyalurkan nafsu seksual dengan tetap terjaga dari penyakit
4.      Melalui pernikahan akan tersalurkan sifat kedewasaan
5.      Dalam pernikahan terdapat ketenangan, dan menjaga kehormatan diri bagi suami  dan istri.[6]

E.     ADA BEBERAPA KETENTUAN PERNIKAHAN :
1.      Rukun Nikah
a.       Adanya calon suami
1.      Beragama islam
2.      Laki-laki
3.      Bukan mahram dengan calon istri
4.      Mengetahui wali yang sebenarnya
5.      Tidak dalam ihram haji atau umrah
6.      Atas kerelaan sendiri dan bukan paksaan
7.      Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam satu masa
8.      Mengetahui bahwa perempuan yang akan dinikahi adalah sah untuk dijadikan istri
b.      Adanya calon istri
1.      Beragama islam
2.      Perempuan
3.      Bukan perempuan mahram dengan calon suami
4.      Tidak sedang ihram haji atau umrah
5.      Tidak dalam masa iddah
6.      Bukan istri orang
c.       Adanya wali
Wali dalam pernikahan adalah orang yang memiliki hubungan nasab.
Rasulullah SAW bersabda :
“Barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal”
Susunan wali-wali yang boleh menikahkan yaitu orang yang diketahui (dikenal), seperti :
1.      Bapaknya
2.      Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)
3.      Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
4.      Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
5.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu bapak dengannya
6.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
7.      Saudara bapak yang laki-laki (Paman dari pihak keluarga bapak)
8.      Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya.[7]
d.      Adanya saksi
Saksi adalah salah satu unsur yang harus memenuhi dalam pernikahan. Minimal ada 2 orang saksi dalam pernikahan. Posisi saksi itu sangat penting untuk menyatakan suatu ijab qabul (aqad nikah) dalam peristiwa pernikahan itu “Sah atau tidak sah”.
Rasulullah SAW bersabda : “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”
e.       Melakukan Ijab
Ijab, yaitu kata-kata penyerahan dari seorang wali untuk menikahkan anak perempuannya atau perempuan lain dari segi nasab berada dalam kewenangannya kepada seorang laki-laki yang menjadi calon suami.
f.       Melakukan Qabul
Qabul yaitu kata-kata penerimaan dari seorang laki-laki calon suami atas kata-kata penyerahan pernikahan yang dilakukan oleh wali nikah calon.
g.      Memberikan Mahar
Mahar ialah sesuatu yang bernilai dan bermakna yang wajib diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Mahar lebih dikenal dengan mas kawin.
h.      Menyelenggarakan Walimatul ‘Arsy
Walimatul ‘Arsy ialah acara resepsi pernikahan yang merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Sunnah itu semestinya diikuti dan dilaksanakan oleh umat islam karena mengandung banyak hikamh dan faedah.[8]
2.      Syarat Nikah ada 4, yaitu :
1.      Adanya calon suami dan istri
2.      Keridhaan suami dan istri.
Tidak boleh ada paksaan salah satu dari keduanya untuk menikah
3.      Wali
Syarat menjadi wali adalah :
a.       Islam.
 Orang yang tidak beragama islam tidak sah menjadi wali atau saksi.
b.      Baligh
(sudah berumur minimal 15 tahun)
c.       Berakal sehat
d.      Merdeka
e.       Laki-laki
f.       Adil
4.      Saksi
Tidak sah nikah bila tanpa dua orang saksi.[9]

F.        KAWIN LINTAS AGAMA DI INDONESIA
Pada tanggal 1 Juni tahun 1980 Majlis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan yang berkaitan dengan kawin lintas agama. Pertama, bahwa seorang perempuan Islam tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki bukan Islam. Kedua, bahwa laki-laki muslim tidak diizinkan menikahi seorang perempuan bukan Islam, termasuk Kristen (Ahli Kitab). Ketetapan laki-laki muslim dilarang menikahi perempuan non-Muslim ini merupakan perkembangan baru fiqih Indonesia yang berhubungan dengan QS.Al-Maidah ayat 5. Ayat yang terkandung dalam surah Al-Maidah ayat 5, seperti dibawah ini:

اَلْيَوْمَ اُحِلُّ  لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَات ُمِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ آتَيْتُمُوْ هُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مسافحين ولامتخذيْ اَخْدَانٍ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِا لاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِيْ اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ (5)   
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang Ahli kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sia-sia amalan mereka dan di akhirat mereka termasuk orang-orang rugi.” (QS. Al-Maidah: 5).
Selain MUI, Organisasi Masyarakat Islam secara resmi mengeluarkan ketetapan larangan kawin lintas agama adalah Muhammadiyah. Secara umum, Muhammadiyah dalam masalah kawin lintas agama sama dengan pendapat jumhur (mayoritas) fuqaha. Laki-laki muslim tidak dibolehkan mengawini perempuan musyrik, sedangkan perempuan muslimah juga tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki musyrik dan Ahli Kitab.[10]

G.       HUKUM NIKAH
 Hukum nikah secara umum terdiri dari :
1.   Jaiz, (diperbolehkan)
2.   Sunnah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya
3.   Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina)
4.   Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah
5.   Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.[11]
Berikut penjelasan yang haram dinikahi :
1.    Laki-laki masuk islam dengan dua istri yang masih saudara kandung.
Dari Dhahak bin Fairuz dari ayahnya, ia berkata :
          “Saya masuk islam dan saya ada dua istri yang bersaudara kandung. Lalu Nabi saw. Menyuruh saya untuk menceraikan salah satunya”
2.    Laki-laki masuk Islam dengan istri lebih dari empat
Dari Ibnu Umar, ia berkata :
          “Ghailan Atsaqafi masuk islam sedang ia mempunyai sepuluh orang istri dari zaman jahiliyyah. Mereka semua masuk islam bersamanya. Lalu Nabi saw. Menyuruhnya memilih empat saja diantaranya.”
3.    Salah satu dari pasangan suami istri masuk Islam
          Jika aqad perkawinan suami istri telah sempurna sebelum Islam, kemudian kedua suami istri masuk islam, maka jika aqad nikah yang diadakannya sesuai dengan aqad nikah yang ada dalam agama islam maka hukumnya “Sah”.[12]
2). Pandangan Islam tentang Nikah Beda Agama
                 Hukum pernikahan beda agama dalam islam termasuk masalah khilafiyah yang diperdebatkan. Namun demikian, mayoritas ulama dan MUI memutuskan bahwa pernikahan beda agama dalam islam adalah haram (tidak diperbolehkan).
          Mayoritas ulama dari 4 mahzhab, MUI, NU, Muhammadiyah dan lainnya telah bersepakat bahwa menikahi pria atau wanita non-Muslim hukumnya haram. Pernyataan ini didasari oleh dalil-dalil Al-Quran surat Al-baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10 yang menjelaskan bahwa orang-orang mukmin dilarang menikahi wanita musyrik. Menikah dengan orang kafir tidak dihalalkan dalam islam.[13]
Secara ringkas hukum nikah lintas agama sebagai berikut :
1.    Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2.    Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3.    Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4.    Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Namun perlulah diketahui masih adakah yg namanya wanita ahlul kitab zaman sekarang ? wallahu`alam..itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.dan untuk hal satu ini..adalah sulit laki laki menemukan wanita ahli kitab walaupun diperbolehkan.
Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.[14]

H.  DALIL MENGENAI PERNIKAHAN LINTAS AGAMA
Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَنْكِحُوْا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلاَ مَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةِ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ وَلاَتُنْكِحُوْا المُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ أُوْلَئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ وَ اللهُ يَدْعُوْآ اِلىَ الجَنَّةِ وَ المَغْفِرَةِ بِاِذْنِهِ وَ يُبَيِّنُ آيآتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ  يَتَذَكَّرُوْنَ (221)  
 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik [dengan wanita-wanita mu’min] sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunandengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya [perintah-perintah-Nya] kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS Al-Baqarah: 221)
يَآيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْآ اِذَا جَآ ءَ كُمُ المُؤْمِنَاتُ مٌهَاجِرَاتٍ فَا مْتَحِنُوْ هُنَّ اَللهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَا نِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوْ هُنَّ اِلَى الكُفَّارِ لاَ هُنَّ  حِلٌّ لَّهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ وَآ تُوْ هُمْ مَّآ اَنْفَقٌوْا وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ آتَيْتُمُوْ هُنَّ اُجُوْرَهُنَّ وَلاَ تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الكَوَافِرِ وَسْأَلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوْا مَآ اَنْفَقُوْا ذآلِكُمْ حُكْمُ اللهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ (10)    
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 10).
Dua ayat ini secara tegas mengatakan bahwa wanita Muslimah itu haram dinikahkah dengan orang kafir dan sebaliknya apa pun alasannya. Dan ulama telah mengatakan bahwa ini adalah Ijma’ (gabungan) pendapat dari para ulama.[15]





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.      Menurut bahasa menikah artinya terkumpul atau menyatu, menjodohkan atau bersenggama (wathi’), sementara menurut istilah adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-lakidan perempuan yang tidak memiliki hubungan mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewajiban antara dua insan.
2.      Tujuan menikah menurut syariat Islam adalah : Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami, untuk memenuhi fitrah manusia, untuk membentengi akhlaq yang mulia, dan untuk menghasilkan keturunan yang sah secara biologis dan syari’at, dan lain-lain.
3.      Sebagian ulama membolehkan pernikahan lintas agama dengan sayarat laki-lakinya adalah seorang muslim dan wanita non-Muslim atau ahli kitab, di luar keadaan itu maka pernikahan beda agama itu diharamkan
4.      Dalil mengenai pernikahan beda atau lintas agama tertulis dalam Al-quran secara jelas dalam QS. Al-Baqarah : 221 dan QS. Al-Mumtahanah: 10

B.     SARAN
Bagi pembaca, jika kita ingin menikahi calon pasangan, maka yang dilihat pertama yaitu agama terlebih dahulu. Setelah mengetahui bahwa hukum pernikahan lintas agama  itu haram, jadi harus berhati-hati atau waspada dalam memilih calon pasangan yang akan dinikahinya, jangan sekedar hanya rasa cinta atau kasih sayang saja.
     Bagi penulis, sebaiknya dapat menggali referensi lebih banyak lagi mengenai pembahasan hukum nikah lintas agama ini sehingga dapat menghadirkan penjelasan yang lebih rinci dan luas dari apa yang disajikan oleh penyusun.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Munajjid, Muhammad Shalih. 2007. Intisari Fiqih Islam. Surabaya : Pustaka.
Ghozali, Abdul Rahman. 2003. Fiqih Munakahat. Jakarta : Kencana.
Muhammad Shalih Al-Munajjid. 2007. Intisari Fiqih Islam. Surabaya : Pustaka.
Mukhlas, Oyo Sunaryo. 2015. Pranata Sosial Hukum Islam.  Bandung : PT Refika Aditama.
Ramulyo, Idris. 1996. Hukum Pernikahan Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Rasjid, Sulaiman. 2014. Fiqh Islam (Hukum fiqih Lengkap). Bandung : Sinar Algensido.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. Bandung :PT Al-Ma’arif. Hlm. 171-173.
Shomad, Abdul.  2010. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia. Jakarta : Kencana.
Suhadi. 2006. Kawin Lintas Agama Prespektif Kritik Nalar Islam. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.
Syaifuddin, Amir. 2006. Hukum Pernikahan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana.


[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Kencana, 2003), Hlm. 15
[2] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum fiqih Lengkap), (Bandung : Sinar Algensido,  2014), Hlm. 381
[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung :PT Al-Ma’arif. 1987) Hlm. 171
[4] https://coretanzulfah.wordpress.com/2015/10/25/79/ diakses pada 4 Maret 2018 pukul 10:10 WI
[5] Oyo Sunaryo Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, (Bandung : PT Refika Aditama. 2015), Hlm. 98-100
[6] Muhammad Shalih Al-Munajjid, Intisari Fiqih Islam (Surabaya : Pustaka, 2007), Hlm. 184
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum fiqih Lengkap), (Bandung : Sinar Algensido,  2014), Hlm. 384
[8] Muhammad Shalih Al-Munajjid, Intisari Fiqih Islam (Surabaya : Pustaka, 2007), Hlm. 187
[9] Abdul Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia (Jakarta : Kencana, 2010), Hlm. 278
[10] Suhadi, Kawin Lintas Agama Prespektif Kritik Nalar Islam. ( Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2006), Hlm. 45
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum fiqih Lengkap), (Bandung : Sinar Algensido,  2014), Hlm. 382
[12] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung :PT Al-Ma’arif. 1987) Hlm. 173.
[13] https://dalamislam.com/Hukum Pernikahan Beda Agama diakses pada 5 Maret 2018 pukul 09.00 WIB
[14] Amir Syaifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), Hlm. 44

[15] Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 1996) Hlm. 26-27

Komentar