shalat gerhana matahari dan bulan




BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Salah satu kewajiban umat islam yang tidak boleh ditinggalkan ialah ibadah sholat. Ibadah sholat dalam syariat islam terdapat dua macam yakni sholat fardhu dan sholat sunnah. Disayriatkannya sholat sunnah ialah untuk menambal atau menutup kekurangan yang mungkin terjadi saat pelaksanaan sholat fardhu, maka menyempurnakannya dengan sholat sunnah.
Ibadah sholat fardlu dan sunnah juga banyak mengandung keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain. Banyak sekali macam-macam sholat sunnah yang disaryiatkan. Seperti sholat sunnah khusufaini atau shalat dua gerhana adapun sholat sunnah istisqo’ atau sholat meminta turun hujan kepada Allah SWT. Terjadinya gerhana merupakan bukti kekuasaan Allah. Rasulullah juga memperingatkan umatnya untuk kembali ingat kepada Allah dan menegakkan salat, memperbanyak istigfar, doa, dzikir, sedekah dan amal sholih ketika terjadi pristiwa gerhana. Adapun hujan adalah rahmat Allah yang harus disyukuri, jika kita berada dalam musim kekeringan yang amat panjang, disunnahkan untuk sholat meminta hujan  atau istisqo’.
Dalam islam segala hal pun terdapat tata cara mengerjakannya, dan berkaitan dengan hal tersebut, berarti golongan islam dan semua umat islam harus mengenal dan memahami dengan baik tentang shalat istisqo’ shalat gerhana. Dengan demikan maka pada kesempatan kali ini kami akan menguraikan beberapa sholat sunnah yakni sholat sunnah gerhana matahari dan bulan serta sholat istisqo’ (sholat meminta hujan).






B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan sholat gerhana matahari dan bulan?
2.      Bagaimana tata cara melaksanakan sholat gerhana matahari dan bulan?
3.      Apa yang dimaksud dengan sholat istisqo’?
4.      Bagaimana tata cara melaksanakan sholat istisqo’?

C.    TUJUAN
Dari rumusan masalah di atas, penulis membuat makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1.  Dapat mengetahui tentang sholat gerhana matahari dan bulan.
2.  Dapat mengetahui tata cara melaksanakan sholat gerhana matahari dan bulan.
3.  Dapat mengetahui tentang sholat istisqo’.
4.  Dapat mengetahui tentang tata cara melaksanakan sholat istisqo’.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    SHOLAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN
Dalam istilah ahli fiqih, gerhana dinamakan kusuf (gerhana matahari) dan khusuf (gerhana bulan). Yaitu hilangnya seluruh atau sebagian cahaya matahari atau bulan dan perubahan cahaya menjadi warna hitam atau gelap. Jadi, shalat gerhana adalah shalat yang dikerjakan dengan gerakan dan tata cara tertentu tatkala hilang seluruh atau sebagian cahaya bulan atau matahari.

1.      Hukum Sholat Gerhana
Adapun shalat gerhana bulan  dan matahari, terdapat dua pendapat yang berbeda sebagai berikut.
Pendapat pertama para ulama’ berpendapat bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkad dan dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi’i, Dawud Ibnu Hazm, Ahmad. Dan pendapat senada juga datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu.  Dalil mereka: “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri, namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ialah dengan berjama’ah. Dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.”[1]
Adapun pendapat kedua yang mengatakan wajib, yakni Imam asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah, Syaikh al-Albâni Rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Rosulullah SAW: “jika kalian melihat, maka shalatlah. (muttafaqun ‘alaih).”
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah yang agung dengan menjelaskan tentang surga dan neraka. Hal itu yang menyebabkan adanya pendapat wajibnya sholat gerhana. Karena jika kita disibukkan dengan urusan masing-masing tanpa menghiraukan adanya gerhana, dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah dan kita diperintahkan untuk mewaspadainya.

2.      Waktu Sholat Gerhana
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun ‘alaihi).
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah terang seperti sediakala dan gerhana terjadi tatkala matahari terbenam. Demikian pula shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah terang seperti sediakala dan saat terbit matahari.[2]

3.      Amalan amalan Yang Dapat Dikerjakan Saat Gerhana
a.       Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih.
b.      Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
c.        Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)  Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
d.      Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-shalatu jami’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jami’ah” (sesungguhnya shalat akan didirikan). (HR Bukhari)
e.        Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘AisyahRadhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhari)[3]

B.     TATA CARA PELAKSANAAN SHOLAT GERHANA MATAHARI DAN BULAN
Dalam tata cara pelaksanaan sholat gerhana matahari dan bulan terdapat dua pendapat sebagai berikut.
1.      Shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud.
Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat seperti itu berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian salam” (Muttafaqun ‘alaihi).

2.      Shalat gerhana ialah dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya.
Abu Hanifah berpendapat seperti itu berdasarkan dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata: “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhari, an-Nasa‘i).[4]


Dari pendapat di atas, jumhur ulama’ banyak menggunakan pendapat yang pertama berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak (umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muqayyad.
Adapun ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
1.      Membaca niat



 





2.      Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fatihah, dan membaca surat panjang, seperti al-Baqarah.
3.      Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
4.      Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allhu liman hamidah.
5.      Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
6.      Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
7.      Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan: sami’allahu liman hamidah.
8.      Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
9.      Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama.dan  sesudah itu sunnah pula imam dan khatib berkhutbah sebagaimana khutbah jumat.[5]


C.    SHOLAT ISTISQO’
Istiqa’ artinya minta diturunkan hujan oleh Allah SWT untuk sejumlah negeri atau hamba-hanbaNya yang membutuhkan melalui shalat, berdo’a dan beristighfar ketika terjadi kemarau. Ibnu qudamah berkata: “shalat istiqha hukumnya sunnah muakkadah, ditetapkan oleh sunnah Rasulullah SAW dan Khulafa Ar Rasyidin.

1.      Hukum Sholat Istisqa
Sholat istisqa’ termasuk shalat sunnah yang sangat dianjurkan sekali (sunnah muakkad), dimana Rasulullah SAW pun telah melaksanakannya dan beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang agar ikut serta untuk pergi ketempat pelaksanaan sholat istisqa’.
Oleh karena itu apabila hujan sangat lama tidak turun dan tanah menjadi gersang, maka dianjurkan bagi kaum muslimin pergi ketanah lapang untuk melaksanakan sholat istisqa’ dua rakaat dipimpin seorang imam, memperbanyak do’a dan istighfar.[6]

2.      Waktu pelaksanaan sholat istisqo’
Waktu pelaksanaan shalat istisqa’ sama seperti shalat hari raya, ini adalah pendapat Malikiyah, berdasarkan keterangan dari Aisyah, “Rasulullah saw pergi menunaikan shalat istisqa’ ketika tampak penghalang matahari.” Namun dalam hadits ini bukan membatasi bahwa waktu shalat istisqa’ itu hanya seperti keterangan dalam hadits, akan tetapi waktu pelaksanaan shalat istisqa’ dapat dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang untuk shalat. Karena shalat istisqa’ memiliki waktu yang panjang, namun yang lebih afdhal adalah dilaksanakan pada awal hari sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, karena shalat istisqa’ menyerupai (hampir sama) dengan  shalat ‘ied tata cara dan tempatnya.
      Disunnahkan kepada imam untuk mengumumkan pelaksanaan shalat istisqa’ beberapa hari sebelumnya, menghimbau orang-orang supaya bertaubat dari kemaksiatan dan menjauhkan diri dari kedzaliman. Juga menganjurkan mereka supaya berpuasa, bersedekah, meninggalkan permusuhan  dan memperbanyak amal kebaikan, karena kemaksiatan itu penyebab kemarau dan tidak diturunkannya hujan, sebagaimana ketaatan menjadi penyebab kebaikan dan keberkahan sehingga Allah swt akan menurunkan hujan dari langit.[7]

3.      Bentuk-bentuk Memohon Hujan (istisqa’)
a.       Seorang imam shalat dua rakaat bersama makmum, waktunya kapan saja, kecuali waktu yang dilarang untuk shalat. Dengan mengeraskan bacaan, rakaat pertama membaca surat Al-’Ala dan yang kedua dengan surat Al-Ghasiyah Selesai shalat Imam berkhutbah di hadapan manusia kemudian berdo’a kepada Allah agar diturunkan hujan. Dan ini adalah cara yang paling sempurna dan lengkap.
b.      Ketika khutbah jum’at kemudian di akhir khutbah khatib berdo’a supaya diturunkan hujan, kemudian makmum mengamini do’anya. Sebagaiamana sabda Nabi saw, Dari Anas ra bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari jum’at, sedangkan Rasulullah saw sedang berdiri berkhutbah, lalu laki-laki tadi berkata, “Wahai Rasulullah saw hartaku telah binasa, bekalku telah habis, maka berdo’alah kepada Allah agar menolong (menurunkan hujan) kepada kita, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berdo’a,[8]

4.      Beberapa Jenis Istisqa Kepada Allah
Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang ditetapkan oleh syari’at, dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.

a.       Sholat istisqa secara berjama’ah ataupun sendirian.
b.      Imam sholat Jum’at memohon kepada Allah agar diturunkan hujan dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma’ bahwa hal ini disunnahkan senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu.
c.       Berdo’a setelah shalat atau berdo’a sendirian tanpa didahului shalat. Para ulama ber-ijma’ akan bolehnya hal ini.

5.      Do’a-do’aIstisqa’
      Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa do’a di dalam istisqa’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw :
a.       Sebagaimana hadits yang telah lalu ketika seorang laki-laki datang ke masjid dan Rasulullah saw sedang berkhutbah, kemudian ia minta supaya Rasulullah saw berdo’a sebanyak tiga kali.
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
 “Ya Allah tolonglah kami, tolonglah kami, tolonglah kami”.

b.      Sebagaimana sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا طَبَقًا مَرِيعًا غَدَقًا عَاجِلًا غَيْرَ رَائِثٍ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong, menyegarkan tubuh dan menyuburkan tanaman dan segera tanpa ditunda-tunda.”

c.       Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwasanya Nabi Saw ketika dalam istisqa’ beliau membaca
اللَّهُمَّ اسْقِنَا اللَّهُمَّ اسْقِنَا اللَّهُمَّ اسْقِنَا
 ”Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami”.
d.      Salah satu do’a dalam istisqa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالْآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ                       
“Ya Allah turunkanlah hujan disekitar kami, bukan pada kami. Ya Allah berilah hujan ke dataran tinggi, pegunungan, anak bukit, dan lembah serta di tempat tumbuhnya pepohonan.”[9]

D.    TATA CARA PELAKSANAAN SHOLAT ISTISQO’
Pergi ke tanah lapang kemudian shalat berjama’ah bersama orang-orang yang dipimpin seorang imam tanpa adzan dan iqomah akan tetapi hendaknya mengucapakan الصلاة جامعة. Kemudian shalat dua rakaat, jika imam berkenan maka ia dapat membaca takbir sebanyak tujuh kali pada rekaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua seperti  pada shalat hari raya. Pada rakaat pertama imam Smembaca surat al-’Ala setelah ia membaca surat Al-Fatihah dengan suara yang nyaring, sedang pada rakaat yang kedua membaca surat al-Ghasiyah.

Cara melaksanakan sholat istisqo’ sebagai berikut.
1.      3 hari sebeum melakukan shalat istisqo, imam atau ulama memewrintahkan kaumnya agar berpuasa tiga hari lamanya, dan menganjurkan mewreka bewramal baik.
2.      Pada hari ke’empat, semua penduduk, ternak pokoknya semuanya, dibawa keluar ditanah lapang untuk melaksanakan shalat istisqo’.
3.      Saat melaksanakan shalat istisqo usahakan tidak memakai pakaian yang baik dan memakai wangi – wangian. dan dianjurkan memperbanyak istighfar
4.      Setelah salam, khatib mewmbacakan 2 khutbah dan pada khutbah yang pertama dimulai dengan mewmbaca istighfar 9. kali pada khutbah yang kedua dimulai  dengan membaca istighfar 7 kali.


Cara melaksanakan khutbah istisqo’:
a.       Khatib di sunnahkan memakai selendang
b.      Khutbah berisi anjuran supaya beristighfar
c.       Ketika berdoa, hendaknya mengangkat ke-2 tangan lebih tinggi hingga terbuka antara lengan dan badannya
d.      Pada khutbah yang ke-2, dikala berdoa hendaknya khatib menghadap kiblat, dan bersama – sama memohon turun hujan[10]





















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkannya sebagai berikut.
1.      Sholat gerhana adalah shalat yang di lakukan saat gerhana matahari dan gerhana bulan, hukum shalat ini adalah sunnah muakkad.
2.      Tata cara sholat gerhana adalah dengan 2 raka’at sholat sejak munculnya gerhana matahari hingga gerhana itu habis masanya dan kembali seperti biasa atau tenggelam.sedangkan sholat sunah gerhana bulan disebut sholat khusuf,dilakukan dengan 2 raka’at juga.mulainya sejak adanya gerhana bulan hingga gerhana hilang(bulan kembali penuh).
3.      Shalat isitiqo’ adalah shalat sunnah yang di kerjakan untuk memohon pertolongan kepada Allah berupa turun hujan.
4.      Shalat isitisqo’ dengan takbir tujuh kali pada rakaat yang pertama dan lima kali pada rakaat yang kedua, dengan surat al- A’la pada rakaat pertama dan al- Ghosyiah pada rakaat kedua. Tidak dengan adzan dan iqomah.

B.     SARAN
Dalam suatu pembelajaran fiqih, seharusnya guru memiliki pengetahuan tentang pengertia, hukum, tata cara, amalan-amalan dalam materi pembelajaran fiqih. sehingga kita sebagai calon pendidik dapat memberikan dan mentransferkan ilmu pengetahuan yang benar kepada murid untuk digunakan dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelajaran. Semoga kita dapat mengambil manfaat dari apa yang telah tertulis di makalah ini.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghozali, Imam. 2005. Keagungan Sholat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Asy-Syannawi, Abdul Aziz. 2005. Melihat Ibadah Rosulullah dari Dekat. Jakarta: Pustaka Azzam.
Hadi, noer. 2009. Memahami fiqih. Jakarta: Erlangga.
Rasyid, Sulaiman. 1954. Fiqih Islam. Jakarta: Attahiriyah.
Rifa’I, Moh. 2004. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.



[1] Noer Hadi, Memahami fiqih, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 72
[2] Imam Al-Ghozali, Keagungan Sholat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 114.

[3] Imam Al-Ghozali, Keagungan ………., hlm. 114.

[4] Abdul Aziz Asy-Syannawi, Melihat Ibadah Rosulullah dari Dekat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hlm. 57.

[5] Moh. Rifa’I, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2004), hlm. 122.

[6] Noer Hadi, Memahami fiqih, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 77

[7] Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), hlm. 139.
[8] Noer Hadi, Memahami ………. , hlm. 80.

[9] Sulaiman Rasyid, Fiqih ………. , hlm. 142.

[10] Moh. Rifa’I, Risalah ………. , hlm. 124.

Komentar