BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW memberikan warisan
yang begitu istimewa kepada Umat Islam yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Al Qur’an
dijadikan petunjuk hidup Umat islam. Al- Qur’an juga memerintahkan untuk
memahami dan mempelajarinya melalui petunjuk-petunjuknya yang tersirat maupun
tidak tersirat. Tetapi, untuk mendapatkan petunjuknya tidaklah mudah. Perlu ada
Interpretasi dan kesadaran manusia untuk mereleasikan pemahamnannya akan teks
pada kehidupan masa kini.
Ayat Al Qur’an tidaklah cukup jika
seseorang mampu membacanya dan melantunkan ayat secara baik, tetapi lebih pada
kemampuan memahami dan mengungkapkan makna serta mengetahui prinsip-prinsip
yang dikandungnya.1 Sebagai bentuk realisasi dalam memahami makna kandungannnya, para
pemikir Islam kontemporer seperti Arkoun, Nasr Abu Zaid, Hassan Hanafi, Amina
Wadud Muhsin, Muhammad Shahrur dan tokoh- tokoh lainnya berkonstribusi memberi
interpretasi kontemporer yang sesuai dengan keaadaan zaman sekarang.2
Untuk menjawab tantangan persoalan-persoalan masa kini, Para
pemikir islam kontemporer menawarkan sebuah pendekatan Hermeneutika. Karena
Hermeneutika merupakan pemahaman dengan menggunakan metodologi konvensional
terhadap sumber dan ajaran islam kurang relevan untuk konteks sekarang.
1 Muhammad Aji Nugroho, Hermeneutika al Qur’an Hasan
Hanafi; Merefleksikan Teks pada Realitas Sosial dalam Konteks Kekinian. Journal
of Islamic Studies and Humanities, UIN Walisongo Semarang. No 2, Vol. 1
Desember 2016.hal 188
2 M. Nurdin Zuhdi, Hermeneutika Al-Qur’an: Tipologi Tafsir Sebagai Solusi dalam Memecahkan Isu-Isu Budaya Lokal Keindonesiaan. Jurnal ESENSIA, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 2 Vol. XIII Juli 2012, hal.244
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang sebelumnya, dapat dirumuskan yang akan dibahas dalam makalah ini
sebagi berikut :
1.
Apa Pengertian Hermeneutika
Al Qur’an ?
2.
Bagaimana Perkembangan
Konsep Hermeneutika Al Qur’an ?
3.
Bagaimana Pendekatan
Hermeneutika menurut Nasr Hamid Abu Zaid ?
4. Bagaimana Cara Aplikasi Pendekatan Hermeneutika menurut Nasr
Hamid Abu Zaid ?
C.
Tujuan Pembahasan
Beberapa
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini memiliki tujuan pembahasan sebagai
berikut:
1.
Untuk mendiskripsikan
Pengertian Hermeneutika Al Qur’an .
2.
Untuk mendiskripsikan
Perkembangan Konsep Hermeneutika Al Qur’an
3. Untuk mendiskripsikan Pendekatan Hermeneutika menurut Nasr
Hamid Abu Zaid.
4. Untuk mendiskripsikan Cara Aplikasi Pendekatan Hermeneutika menurut Nasr Hamid Abu Zaid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hermeneutika Al Qur’an
Hermeneutika secara bahasa berasal dari
bahasa inggris yaitu Hermeneutic yang
berarti berkenaan arti dari teks-teks tertulis. Kata Hermeneutic juga diambil
dari kata benda dalam bahasa yunani yaitu Hermeneia
berarti Interpretasi atau penafsiran.
Dalam kata kerja berasal dari
kata Hermeneuein yang berarti
mengartikan, menafsirkan, dan juga bertindak sebagai penafsir.3
Adapun kesejarahan Hermeneutika diambil
dari nama tokoh motologi yunani yang disebut Hermes. Beliau adalah seorang utusan (dewa Zeus) yang bertanggung jawab untuk menyampaikan
pesan-pesan dewa dengan menterjemahkan dan menafsirkan pesan dewa dengan bahasa
yang dimengerti manusia. Maksud
pengertian dari hermes ini menjelaskan tentang hermeneuitika teks-teks kitab
suci, yaitu menafsirkan firman tuhan sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat
kitab suci. 4
Menurut Ebeling terhadap konsep Hermes pada jurnal achmad khudori ismail justru lebih dekat dengan makna tafsir (exegesis). Ada perbedaan antara hermeneutika dengan tafsir. Tafsir lebih dekat tindakan praktis menafsirkan teks atau komentar aktual atas teks, sedangkan hermeneutika
3 Zen Amrullah, Hermeneutika Al-Qur’an dan Studi
Al-Qur’an dalam Konteks keindonesiaan; Al-Ulum Jurnal Pemikiran dan Penelitian
ke Islaman, STAI Mahad Aly Al Hikam Malang, jilid 2, 2015, hal 2
4Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum (Sejarah – Filsafat & Metode Tafsir)(Malang; UB Press, 2011)., hlm. 3
berkaitan dengan berbagai aturan, metode dan teori yang
membimbing seorang mufassir dalam melakukan penafsiran.5
Secara sederhana, makna Hermeneutika
yang diambil dari kata Hermes adalah
Ilmu dan seni menjelaskan (art of interpretation) pada teks atau kitab suci.
Dalam sudut ilmu, hermeneutika merupakan penafsiran yang dilakukan dengan
cara-cara ilmiah dalam menggali makna, rasional dan dapat diujikan suatu teks.
Sedangkan dalam sudut seni, Hermeneutika harus menunjukkan sesuatu yang indah
dan baik dalam menginterpretasikan suatu teks/kitab suci. 6
Hal ini juga dinyatakan oleh Hassan
Hanafi dalam religious Dialogou and
Revolution bahwa hermenuitika merupakan ilmu interpretasi atau teori
pemahaman yang melibatkan berbagai proses wahyu dari huruf sampai kenyataan,
dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada
kehidupan manusia.7 Oleh karena itu, hermeneutika bukan sekedar tafsir, melainkan satu
‘’metode tafsir’’ atau satu filsafat tentang penafsiran.
Pemahaman Al-qur’an pun bisa dipahami
dengan menggunakan pendekatan hermeneutika seperti yang telah dilakukan oleh
Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain sebagainya yakni
metode interpretasi yang berangkat dari analisis Bahasa, kemudian melangkah
pada analisis konteks, dan menarik makna yang termuat ke dalam ruang dan waktu
saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan.8
Dari penjelasan sebelumnya, kata hermeneutika dapat ditarik secara harfiah yakni penafsiran. Sedangkan makna dari konsep hermeneutika al
5 Achmad khudori sholeh, Membandingkan hermeneutika
dan ilmu tafsir, Jurnal Tsaqafah, UIN Malang, No. 1 Vol VII, April 2011, hlm.
33
6 Jazim Hamidi, op. cit., hlm.
4
7 Ahmad Zuhdi, dkk., Studi
Al-Qur’an; Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2018,hlm.536
8 Ibid., hlm. 537
qur’an
adalah teori pemahaman yang melibatkan berbagai cara penafsiran teks, kemudian
konteks dan upaya kontekstualisasi.
B. Perkembangan Konsep Hermeneutika Al-Qur’an
Dalam perkembangannya, Pada tahun 1654
Hermeneutika muncul sebagai metode penafsiran tek-teks Bibel dalam karya J. C
Dannhaur yang judulnya Hermeneutica Sacra
Sive Methodus Eksponendarums Sacrarum Literarum. Di sisi lain, menurut
Dilthey, Ketika Flacius menulis Clavis pada tahun 1567 hermeneutika muncul
sebagai sebuah teori yang berisi tentang kaidah-kaidah penafsiran.9
Dalam perkembangan selanjutnya, makna
hermeneutika menjadi cara memahami realitas yang terkadung dalam teks kuno
yaitu bibel. Menurut Paus kaum yahudi dan Nasrani, Bibel itu mengandung logika
internal yang memungkinkan untuk disesuaikan dan diimplementasikan sesuai
dengan situasi dan kondisi baru.10
Permasalahan yang selalu dimunculkan yaitu perbedaan antara Bahasa teks dan cara berpikir masyarakat kuno dan modern. Sehingga seorang pakar filologi Friederich menyetus gagasannya bahwa Hermenutika berubah dari alat interpretasi Bibel menjadi metode pemahaman teks secara umum. Akhirnya dari filsafat hermeneutika inilah dikembangkan dan diujicoba dalam kajian-kajian Al-Qur’an oleh Ahmad Hanafi, Fazlur Rahman, Aminah Wadud, Mochammed Arkoun, Nasr Hamid Abu zayd, Farid Esack, Ali Engineer. 11
9 Zen Amrullah, Hermeneutika Al-Qur’an dan Studi
Al-Qur’an dalam Konteks keindonesiaan; Al-Ulum Jurnal Pemikiran dan Penelitian
ke Islaman, STAI Mahad Aly Al Hikam Malang jilid 2, 2015, hal 5
10 Adian
Husaini, Abdurrahman Al- Baghdadi, Hermenutika & Tafsir Al-Qur’an ;Gema
Insani, hal.10-11
11 Zen Amrullah Op,cit., hlm. 6
Adapun tiga hal utama yang menjadikan
asumsi dasar penafsirannya dalam menerapkan pendekatan hermeneutika pada
pembacaan Al-Qur’an Kontemporer yakni12;
1. Para
Penafsir adalah Manusia
Artinya Paraa penafsir adalah manusia dengan segala
potensi-Nya, yang tidak lepas dari historis kehidupan dan pengalamannnya yang
sangat mempengaruhi pola pikir penafsirannya.
2.
Penafsiran
itu tidak dapat lepas dari Bahasa, sejarah dan tradisi. Artinya aktivitas
penafsirannya tidak bisa sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi terkait
bahasa, budaya, dan tradisi dimana ia hidup. Maka teks tersebut harus dilacak
historisnya baik muatan historis saat teks itu turun maupun saat teks itu ditafsirkan.
3.
Tidak ada teks yang menjadi
wilayah bagi dirinya sendiri.
Sebagaimana dalam Al Qur’an terlihat ada perbedaan antara
ayat- ayat Makkiyah, dan ayat-ayat Madaniyah. Hal ini hubungannnya dengan
proses pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi, dan dengan komunitas masyarakat
yang menerimanya di sisi yang lain. Karena itu Al Qur’an sebagai wahyu harus
dipahami sebagai respon Tuhan terhadap kondisi Masyarakat tertentu dimana ia
diturunkan.
Pendekatan ini cenderung digunakan oleh Penafsiran kontemporer untuk menyelesaikan problem global. Melalui pendekatan ini juga berupaya untuk menghadirkan dan membangun teks al-qur’an terkait persoalan dan tema pokok yang dihadapi masyarakat, kemudian dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dengan dinamika realitas historisnya. Sehingga memberikan pemahaman al-qur’an secara aplikabel.
12 Ahmad Zuhdi, dkk., Studi Al-Qur’an; Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2018,hlm.538
C. Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an oleh Nasr Hamid Abu Zaid
Salah satu tokoh kontemporer terkenal
yang menghasilkan karya penafsiran corak hermeneutika yaitu Nasr Hamid Abu
Zayd. Dalam karyanya, beliau merespon tentang interpretasi pragmatis dan
ideologis atas Al-Qur’an selama melakukan atas kajian mu’tazilah. Beliau mulai
berpikir bahwa teks haruslah dikaji dan diinterpretasikan secara objektif
dengan menerapkan metodologi dan teori-teori ilmiah seperti hermeunitika dan
lingiustik sebagai studi-studi tekstual. Beliau mengatakan bahwa dua ilmu ini
merupakan alat untuk menginterpretasikan Al-Qur’an sebagai wahyu yang progresif
dan kontekstual.13
Melalui karyanya juga, Abu Zaid juga
menawarkan dua aspek yang biasa diabaikan dalam menginterpretasikan teks-teks
keagamaan yaitu aspek historis dan aspek konteks dari teks itu sendiri.
Berdasarkan gagasan tersebut, Abu zaid menunjukkan penafsiran Al-Qur’an dengan
Metode hermeneutika. Karena Abu zaid menyatakan perlunya penekanan historisitas
teks al-qur’an, kesadaran sejarah atasnya, serta sikap kritis terhadap teks dan
konteks sejarahnya.14
Menurut pembacaan Abu zaid terhadap Al
Qur’an, Ia memahami Al Qur’an sebagai teks (mafhum
al-nas) yang disampaikan melalui bentuk Bahasa. Bila Al Qur’an
termanifestasi dalam Bahasa, semestinya terdapat dimensi budaya di dalamnya.15 Misalnya
pada pembahasan tentang Makki Madani,
merupakan pembahasan yang dimaksudkan untuk melihat periodesasi yang dianggap
berperan dalam membentuk teks. Sehingga memungkinkan teks Al-Qur’an tidak lepas
dari realitas budaya Ketika Al
13 Ahmad Zayyadi, Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an
Kontemporer Nashr Hamid Abu Zaid (Aplikasi terhadap Gender dan Woman Studies
dalam Studi Hukum Islam), Jurnal Maghza IAIN Purwokero, Vol. 2 No. 1, 2017,hlm.
4
14 Ibid., hlm. 5
15 Ibid., hlm. 8
Qur’an diturunkan. Begitu juga Asbab al Nuzul, Nasikh
Mansukh, adalah suatu pembahasan di dalam ulum Al-Qur’an yang sangat
bermuara pada dialektika antara teks dan realitas.16
Abu Zaid juga merumuskan metodologi
yang mengungkapkan makna asli (meaning/ma’na)
Al Qur’an, kemudian akan melahirkan sebuah makna baru (significance/maghza). Sebagai landasan metodologi yang dibangun, ia
membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil. Maksud pengertian Tafsir adalah
membuka sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui yang bisa diketahui
karena adanya media tafsirah.17 Sedangkan Ta’wil memiliki makna
merujuk kepada penjelasan makna-makna untuk mengungkapkan ma’na dan maghza.
Ma’na
memiliki ciri historis, maksudnya bahwa ia dapat
diraih hanya dengan pengetahuan yang cermat mengenai konteks linguistic
(internal) dan konteks kultural-sosiologis (eksternal). Sedangkan signifikansi
(maghza) merupakan hasil dari
pembacaan masa di luar masa (terbentuknya) teks.18 Kedua hal ini
tidak dapat terpisahkan dari makna, bahkan saling berkaitan satu sama lainnya, maghza selalu mengikuti
ma’na begitu pula sebaliknya.
Hal ini teks memiliki makna yang
berkembang menjadi signifikansi atau kata lain akan selalu terjadi produksi
makna. Karena dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan
untuk menafsirkan teks itu secara terus-menerus. Sehingga proses interpretasi
tidak akan pernah berakhir dan reinterpretasi akan selalu terjadi di sepanjang masa.
Hal ini dapat ditarik dari
penjelasan-penjelasan sebelumnya, bahwa menurut Abu Zaid penafsiran Al Qur’an
ada dua segi melalui pendekatan hermenutika beliau. Pertama, segi historis yang bertujuan untuk menempatkan teks-teks
tersebut pada konteksnya dalam upaya menyingkap
16 Fikri Hamdani, Teori Interpretasi Nasr Hamid Abu
Zayd, Jurnal Farabi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 1 Vol. 13 Juni 2016,
hlm.37
17 Ibid., hlm. 38
18 Ibnu Muclis, Mempertimbangkan Nilai Adil dalam warisan ; Perspektif Nasr Hamid Abu zayd, E-Jurnal QOF Vol. 1 No. 2 2017, hlm 135
makna yang asli, kemudian konteks historis, serta konteks
bahsa yang khusus dari teks-teks tersebut. Kedua,
segi sosio-kultural pada masa itu. Kedua segi ini menjadi pertimbangan dalam
aktivitas interpretasi, terutama untuk membedakan antara makna asli yang
bersifat historis dengan signifikansi (maghza)
yang dapat dipahami dari makna-makna tersebut.
D. Aplikasi pendekatan hermeneutika oleh Nasr Hamid Abu Zaid
Berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, Beliau juga telah menghasilkan karya yang banyak mengupas wacana gender dalam hukum keluarga islam di Tunisia dengan memperjuangkan HAM termasuk hak-hak perempuan seperti keadilan gender, hak waris bagi perempuan dan diskursus pemikiran lainnya yang terkait dengan wacana keagamaan kontemporer. Pada paparan ini membahas salah satu persoalan gender dalam pandangan Abu Zaid:
1.
Poligami
Pembahasan poligami dalam perspektif hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid berdasarkan literatur Fikri hamdani dalam jurnalnya teori interpretasi Nasr Hamid Abu Zaid.19Sebagai landasan ayat poligami adalah surah An- Nisa ayat 3, sebagai berikut :
19 Fikri Hamdani, Teori Interpretasi Nasr Hamid Abu
Zayd, Jurnal Farabi Vol. 13 No. 1 2016, hlm. 40-42
Terjemahnya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
Dikutip pada bukunya Moch. Nur Ichwan dalam jurnal Fikri
Hamdani, Abu Zaid menginterpretasikan ayat diatas dengan tingkah langkah.
Pertama, konteks teks ayat. Kedua, meletakkan teks dalam konteks al- Qur’an
secara keseluruhan. Ketiga, mengusulkan sebuah pembaharuan hukum Islam (contribution to knowledge).
Pertama, melihat konteks ayat ketika turun, dan mengaitkan
dengan tradisi-tradisi Arab pra Islam. Nasr Hamid berargumen bahwa sebelum
datangnya Islam (pra Islam) poligami tidaklah dibatasi sampai empat, melainkan
lebih dari itu. Kemudian ketika Islam datang dengan al- Qur’annya, izin seorang
laki-laki untuk menikah dibatasi sampai empat kali.
Langkah kedua, meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an
secara keseluruhan. Pada langkah ini, Abu Zaid mencoba untuk menemukan makna
yang “tak terkatakan” dalam al-Qur’an. Pada konteks poligami ini, abu zaid
membandingkan dua ayat yang cenderung saling menjelaskan, ia membandingkan
surat an-Nisa ayat 3 dan an-Nisa ayat 129:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, (QS. an-Nisa ayat 3)”
Dan kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil
di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.
an-Nisa ayat 129),
Nasr Hamid menganalisis kedua ayat tersebut dengan analisis
linguistic. Di dalam ilmu linguistic Arab, dikenal dengan adanya istilah ‘adad
syarth, fi’il syarth, dan jawab syarth, pada kata “Jika” di atas adalah merupakan suatu partikel kondisional (kalimat
pengandaian) atau dalam istilah linguistic sebagai adad syarth.
Kata ‘’adil’’pada
ayat yang pertama adalah fi’il syarth, dan kata “seorang” adalah sebagai jawab syarth, kemudian ditegaskan oleh ayat
sesudahnya (an-Nisa 129) bahwa adil adalah sesuatu yang mustahil bisa dilakukan
oleh manusia, hal itu berdasar pada penggunaan kata lan yang berarti tidak akan pernah. Dari sini Nasr Hamid ingin
mengungkapkan bahwa salah satu syarat seseorang boleh berpoligami adalah
masalah keadilan, tapi untuk bisa berbuat adil, seseorang tidak akan mampu
melakukannya, karenanya Nasr Hamid menyimpulkan bahwa “poligami dilarang”.
Langkah yang ketiga adalah mengusulkan pembaharuan dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam klasik poligami diklasifikasikan masuk dalam
bab “hal-hal yang diperbolehkan”, istilah pembolehan
menurut Nasr Hamid, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan hal yang
tidak dibicarakan oleh teks, sementara pembolehan poligami dalam al-Qur’an pada
hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari praktek poligami yang tak terbatas,
pembatasan tidak berarti pembolehan.20
Dalam metode penafsiran (heremeneutika) Abu Zayd mencoba untuk menemukan makna baru yang tak terkatakan dalam al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian. Misalnya dalam makalah ini mengangkat salah satu contoh isu kontemporer saat ini yaitu poligami, Abu Zaid berkesimpulan bahwa “poligami dilarang” dengan melihat proses ketika masa pra Islam, masa al-Qur’an diturunkan dan konteks kekinian.
20
Ibid.,
hlm. 40-42
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan sebelumnya dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kata hermeneutika dapat ditarik secara harfiah yakni
penafsiran. Sedangkan makna dari konsep hermeneutika al qur’an adalah teori
pemahaman yang melibatkan berbagai proses penafsiran teks, kemudian konteks dan
upaya kontekstualisasi.
2. Berdasarkan perkembangan kajian hermeneutika hingga munculnya
tokoh tokoh muslim kontemporer yang mengembangkan dalam penafsirannya.
Sebagaimana tiga hal utama yang menjadikan asumsi dasar penafsiran Al Qur’an
dalam menerapkan pendekatan hermeneutika yaitu, penafsir adalah manusia,
penafsiran itu tidak dapat lepas dari Bahasa, sejarah dan tradisi dan tidak ada
teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri.
3. Menurut Abu Zaid penafsiran Al Qur’an ada dua segi melalui
pendekatan hermenutika beliau. Pertama,
segi historis yang bertujuan untuk menempatkan teks-teks tersebut pada
konteksnya dalam upaya menyingkap makna yang asli, kemudian konteks historis,
serta konteks bahsa yang khusus dari teks-teks tersebut. Kedua, segi sosio-kultural pada masa itu. Kedua segi ini menjadi
pertimbangan dalam aktivitas interpretasi, terutama untuk membedakan antara
makna asli yang bersifat historis dengan signifikansi (maghza) yang dapat dipahami dari makna-makna tersebut.
4. Dalam metode penafsiran (heremeneutika) Abu Zaid mencoba untuk menemukan makna baru yang tak terkatakan dalam al-Qur’an sesuai dengan konteks kekinian. Misalnya dalam makalah ini mengangkat salah satu contoh isu kontemporer saat ini yaitu poligami, Abu Zaid berkesimpulan bahwa “poligami dilarang” dengan melihat proses ketika masa pra Islam, masa al- Qur’an diturunkan dan konteks kekinian
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, Zen, 2015, Hermeneutika
Al-Qur’an dan Studi Al-Qur’an dalam Konteks keindonesiaan; Al-Ulum Jurnal
Pemikiran dan Penelitian ke Islaman, STAI Mahad Aly Al Hikam Malang, jilid 2.
Hamdani, Fikri. 2016, Teori
Interpretasi Nasr Hamid Abu Zayd, Jurnal Farabi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
No. 1 Vol. 13
Hamidi, Jazim, 2011, Hermeneutika Hukum
(Sejarah – Filsafat & Metode Tafsir)(Malang; UB Press.
Husaini, Adian & Al- Baghdadi, Abdurrahman, Hermenutika &
Tafsir Al-Qur’an
;Gema
Insani.
Muclis, Ibnu. 2017, Mempertimbangkan
Nilai Adil dalam warisan ; Perspektif Nasr Hamid Abu zayd, E-Jurnal QOF Vol. 1
No. 2
Nugroho, Muhammad Aji, 2016,
Hermeneutika al Qur’an Hasan Hanafi; Merefleksikan Teks pada Realitas Sosial
dalam Konteks Kekinian. Journal of Islamic Studies and Humanities, UIN
Walisongo Semarang. 201
Sholeh, Achmad khudori, 2011,
Membandingkan hermeneutika dan ilmu tafsir, Jurnal Tsaqafah, UIN Malang, No. 1
Vol VII.
Zayyadi, Ahmad. 2017, Pendekatan
Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer Nashr Hamid Abu Zaid (Aplikasi terhadap
Gender dan Woman Studies dalam Studi Hukum)
Zuhdi, Ahmad, dkk., 2018. Studi Al-Qur’an; Surabaya, UIN Sunan Ampel
Press,
Zuhdi, M. Nurdin, 2012, Hermeneutika
Al-Qur’an: Tipologi Tafsir Sebagai Solusi dalam Memecahkan Isu-Isu Budaya Lokal
Keindonesiaan. Jurnal ESENSIA, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 2 Vol. XIII.
Komentar
Posting Komentar