BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad
SAW. Al Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai
bukan hanya kebahagiaan di dunia saja, terlebih lagi adalah
merupakan tuntunan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dalam Al Qur’an
terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al Qur’an memuat ayat tentang
cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang
ibadah, muamalah. Al-Qur’anul Karim adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu
pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah
laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai
makhluk social, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Ruang lingkup al-Qur’an adalah segala pembahasan mengenai al-Qur’an
yang mana didalamnya membahas tentang asbabun nuzul, pembukuan dan pembakuan
al-Qur’an, nasikh mansukh, dan masih banyak lagi. Selain itu, Segala cabang
disiplin ilmu bermuara pada Al-Qur’an, sehingga belajar tentang hal-hal yang
terkait dengan Al-Qur’an merupakan keharusan bagi kita sebagai muslim yang
berusaha menjadi yang terbaik dihadapan Tuhannya dan menganalisis segala
pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagai bekal dalam memantaskan diri
menghadap Sang Khaliq.
Berdasarkan gambaran singkat yang telah dipaparkan, maka penulis
tertarik untuk menfokuskan bahasan dalam makalah ini mengenai nasikh dan
mansukh serta perbedaan antara nasikh dan takhsis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian nasikh mansukh ?
2.
Apa saja macam-macam naskh yang ada di dalam al-Qur’an ?
3.
Perbedaan nasakh dan takhsis ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian nasikh mansukh.
2.
Untuk mengetahui macam-macam naskh yang ada di dalam al-Qur’an.
3.
Untuk mengetahui Perbedaan nasakh dan takhsis.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh Mansukh
Pengertian
naskh secara etimologis
memiliki beberapa
pengertian, yaitu : penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al- naql), pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau
al-intiqal).[1] Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu
yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan
memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful) adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.
Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada banyaknya
pengertian nasakh secara
etimologi sebagaimana dijelaskan di
atas. Cakupan makna
yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di antaranya:
1)
Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian.
2)
Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum
yang
lebih khusus
yang datang
setelahnya.
3)
Bayan
atau penjelasan
yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
4)
Penetapan
syarat terhadap hukum
terdahulu yang belum bersyarat.[2]
Berdasarkan pada gugusan
paparan di atas, ulama mutaqaddimin
secara terminologis mengusung makna nasakh secara luas, yaitu
tidak
terbatas
pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun
interprestasi nasakh yang diusung oleh
mereka juga menyangkut yang
bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian.
sementara menurut
ulama
mutaakhirin,
nasakh adalah dalil
yang datang kemudian,
berfungsi
untuk menggugurkan dan menghilangkan
hukum yang pertama[3]. Dengan demikian mereka mempersempit
ruang lingkup
nasakh dengan
beberapa syarat, baik yang menasakh maupun
yang
dinasakh.
Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan
nasakh sebagai berikut :
Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara`
yang
datang kemudian.[4]
Atas dasar
itu, dalil yang
datang
kemudian
disebut
nasikh
(yang menghapus). Sedangkan hukum yang
pertama disebut mansukh (yang terhapus). Sementara itu, penghapusan
hukumnya disebut nasakh.[5] Berdasarkan pengertian itu, para ulama mutaakhirin lebih mempersempit makna
nasakh dengan mendefinisikannya
sebagai amandemen sebuah
ketentuan
hukum atau
berakhirnya masa
berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi.
Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana
dinukil Moh. Nur Ichwan, yang dimaksud
dengan terminologi “menghapuskan” dalam definisi tersebut adalah
terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang mukallaf
dan bukan terhapusnya
subtansi
hukum itu
sendiri.[6]
Dalam arti bahwa semua ayat al-Quran tetap berlaku, tidak
ada
kontradiksi.
Yang
ada hanya
pergantian
hukum bagi masyarakat atau
orang tertentu karena
kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat
hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan kondisinya dengan mereka.
B.
Macam-Macam Nasihk Dan Mansukh
1.
Macam-macam surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasihk atau
mansukh
Ibnu jauzi dan para ahli tafsir lainnya mengatakan, surat-surat
dalam al-Qur’an yang mengandung ayat-ayat nasikh atau mansukh dibagi sebagai
berikut :
a)
Surat-surat dalam al-Qur’an yang mengandung ayat-ayat nasihk dan
mansukh ada 25 surat saja, yaitu : al-baqorah, Ali Im’ron, al-Nisa’al-Maidah,
al-Anfal, al-Taubah, Ibrohim, al-Nahl, Maryam, al-Anbiya, al-Hajj, al-Nur,
al-Syura, al-Furqon, al-Syura. Al-Ahzab, saba, al-Mu’min, al-Syura, al-Dzariat,
al-Thur, al-Waqiah,al-Mujadalah, al-Muzammil, al-Takwir dan al-Ashr.
b)
Surat-surat dalam al-Qur’an yang hanya mengandung ayat-ayat mansukh
dan tidak mengandung ayat-ayat nasihk ada 40 surat, diantaranya yaitu :
al-An’am, al-A’raf, Yunus, Hud, al-Ro’ad, al-Hijr, al-Isra, al-Kahfi, Thaha, al-Mu’minun,
al-Naml, al-Qashas, al-An’kabut, al-Rum, al-Luqman, al-Sajdah, al-Fathir.
c)
Surat-surat yang hanya mengandung ayat-ayat nasihk tanpa
menyertakan ayat-ayat mansukh terdapat 6 surat, yaitu: al-Fath,al-Hasyr,
al-Munafiqun, al-Thaghabun, al-Thalaq.
d)
Surat-surat yang benar-benar bersih dari ayat-ayat nasihk dan
mansukh terdapat 43 surat, yaitu :al-Fatihah, Yusuf, Yasin, al-Hujarat,
al-Rohman, al-Hadid, al-shaf,al-Jumu’ah, al-Tahrim, al-Mulk, al-Haqqoh, Nuh,
al-Jin, al-Mursalat, al-Naba, al-Nazilat, al-Infithar, Al-Muntafifin,
al-Insyiqaq, Al-Buruj, al-Fajh, al-Balad, al-Syams, al-Lail, al-Dhuha,
al-Insirah, al-Qolam, al-Qodr,al- Insiyaq, al-Zalzalah, alAdiyat, al-Qoriah,
al- Takatsur, al- Luqman, al-Fil, Qurais, al-Ma’un, al-Kausart, an-Nashr,
al-Lahab, al-Iklash, al-Falaq,dan an-Nas.
2.
Macam macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya
Macam-macam
nasakh dari segi hukum dan tilwahnya dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :
a)
Nasakh tilawah ( menghapus bacaan) dan juga hukumnya
Seperti penghapusan ayat yang diharamkan nikah dengan saudara
sepersusuan dengan 10 kali susuan yang dinasakh dengan 5 kali kesusuan.
Sebagaimana yang disampaikan Sayyidah ‘Aisyh r.a, beliau berkata :
كَانَ
فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ
نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an
adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu
dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di
antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
b)
Nasakh hukum sedangkan tilwah tetap.
Contoh : tentang masa i’ddah selama satu tahun sedang tilawahnya
masih ada dalam al-Qur’an yaitu :
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ
أَزۡوَٰجٗا وَصِيَّةٗ لِّأَزۡوَٰجِهِم مَّتَٰعًا إِلَى ٱلۡحَوۡلِ غَيۡرَ
إِخۡرَاجٖۚ فَإِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِي مَا فَعَلۡنَ فِيٓ
أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعۡرُوفٖۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau
waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri
mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah : 240)
Kemudian ayat ini di nasakh dengan surah Al-Baqarah ayat 234 yang
berbunyi:
وَالَّذِيۡنَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنۡكُمۡ
وَيَذَرُوۡنَ اَزۡوَاجًا يَّتَرَبَّصۡنَ بِاَنۡفُسِهِنَّ اَرۡبَعَةَ
اَشۡهُرٍوَّعَشۡرًا
Artinya: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan
istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari
....”
c)
Nasakh tilawah sedang hukumnya tetap
Contoh dalam hal ini adalah berkenaan tentang ayat rajam.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan Ubay bin Ka’ab yang
berkata, termasuk dari ayat al-Qur’an diturunkan adalah :
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا
زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ
حَكِيْمٌ
Yang artinya: “Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina,
maka rajamlah keduanya. Itulah kepastian hukum dari Allah. Dan Allah Maha Gagah
lagi Maha Bijaksana. (HR. Asy-Syafi’i )
3.
Macam –Macam Nasakh Ditinjau Dari Segi Badal
Adapun
macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal ( dengan adanya pengganti atau
tidak adanya pengganti ) dibagi menjadi berikut :
a)
Nasakh tanpa badal ( pengganti).
Contoh
penghapusan bersedekah sebelum berbicara kepada rosullulah sebagaimana
diperintahkan dalam surat al-Mujadalah :12
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَٰجَيۡتُمُ ٱلرَّسُولَ فَقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيۡ
نَجۡوَىٰكُمۡ صَدَقَةٗۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ لَّكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ فَإِن لَّمۡ
تَجِدُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada
orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan
lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b)
Nasakh dengan badal mumatsil ( sebanding )
Menghapus hukum sebelumnya dengan mengganti hukum yang seimbang.
Contohnya me- nasakh ketentuan menghadap baitul maqdis dengan mengganti
ketentuan menghadap kiblat ke ka’bah dalam sholat. Allah berfirman,
قَدۡ
نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ
تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ
Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”
c)
Nasakh dengan badal akhaf ( lebih ringan )
contohnya puasa masa dahulu, dalam surat al-baqorah : 183 dinasakh
dengan ayat al- baqorah : 187
أُحِلَّ
لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ
Arinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu”.
d)
Nasakh dengan badal atsqal ( lebih berat ).
Contohnya menghapus hukuman penahanan dirumah pada istri-isri yang
menyeleweng dengan diganti dengan hukuman dera. Allah berfirman :
وَٱلَّٰتِي
يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ
أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ
يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا
Artinya : “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan
keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).
Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya”. [7]
Adapun dari
sisi otoritas
mana
yang lebih berhak menghapus
sebuah naskh,
para ulama’ membagi naskh menjadi empat macam,
diantaranya:
a)
Naskh al-Qur’an dangan al-Qur’an
Ulama’ menyepakati bahwa al-Qur’an bisa di naskh dengan al- qur’an karena melihat adanya kesetaraan dalam pengetahuan tentang
al-Qur’an dan
kewajiban mengamalkannya.[8] Seperti
beberapa contoh yang telah disebutkan sebelumnya.
b)
Naskh al-Sunnah/hadits dengan al-Qur’an
Mayoritas ulama’ memiliki pandangan bahwa secara logika, al-Sunnah bisa di naskh dengan al-Qur’an dan sesuai dengan syariat hal tersebut. bisa terjadi. Kelompok mayoritas berargumen bahwa baik al-Qur’an dan as-Sunnah, kedunnya merupakan wahyu dari Allah Swt. Seperti yang ditegaskan
oleh Allah Swt. Melalui
ayat:
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ
إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). ( an -Najm, 3-4 )
Dalam
hal ini contohnya adalah dinaskh-kannya menghadap
Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah
fi’liyyah
(perbuatan)
dalam hadits shohih
Bukhori-Muslim
dengan ayat perintah menghadap
Masjid Al-Haram.[9]
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Artinya : “...Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya...”(QS. Al-Baqarah: 144).
c)
Naskh al-Qur’an dengan al-Sunnah/hadits
Bagi
kalangan ulama’ Hanafiyah, nasikh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang
menghapus nya sunnah mutawattir atau Masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya
berupa sunnah ahad. Adapun bagi ulama’ fiqih, apapun jenis sunnah
yang akan menghapus ketentuan hukum dalam
al-Qur’an
hal
itu tetap tidak diperkenankan.
Untuk itu Asy-Sayafi’i mengajukan
analisisnya yang dikutip oleh
Abdul Hadi dalam jurnalnya sebagai berikut: sunnah tidak sederajat dengan al-Qur’an padahal nasikh yang dijanjikan Tuhan dalam surat
al-Baqoroh ayat 106 adalah yang sepadan derajatnya
atau lebih tinggi. Contoh Al-qur’an yang di nasakh
dengan hadits yaitu firman Allah SWT. Surah Al-Baqarah ayat 180 :
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن
تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ
حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Kemudian ayat ini di nasakh dengan
hadits
d)
Naskh al-Sunnah/hadits dengan al-Sunnah/hadits
Contokh Nasakh larangan berziarah kubur pada
awal mula islam kemudian diperintah.
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلان
فَزُورُوهَا
Artinya :“Dahulu aku melarang kalian
dari berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian”.(HR. Tirmidzy)
Dalam pe-naskh-an al-Sunnah dengan al-Sunnah terbagi menjadi empat
bagian:
1)
Naskh
al-Sunnah
al-Mutawatirah dengan al-Sunnah
al-
Mutawatirah.
2)
Naskh Sunnah al-Ahad dengan al-sunnah al-Ahad.
3)
Naskh al-Sunnah al-Ahad dengan al-Sunnah al-Mutawatirah
4)
Naskh al-Sunnah al-Mutawatirah dengan
al-sunnah al-Ahad.
Mengenai pe naskh-an pada tiga bagian yang awal, secara akal dan syariat tidak ada
perbedaan pandangan dari para ulama’.
Untuk bagian terakhir, yakni nasikh al-Sunnah
al-Mutawatirah dengan al-sunnah al-
Ahad, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama, meskipun secara logika
mereka sepakat memperbolehkannya, maka
berbeda pandangan
ketika
membanya keranah realitas. Moyoritas ulama’
menafikankan terjadinya al-Sunnah al-Mutawatirah dengan al-sunnah al-Ahad tersebut. Salah
satu alasannya jika sunnah al-Mutawatirah bersifat qath’i
(pasti tepatnya) sedangkan
ahad,
bersifat
zhanni al-tsubut, (tidak pasti tepatnya, dugaan),
sehingga
dalil qad’i tidak bisa dihilangkan atau di-naskh dengan dalil zhinni, karena lebih kuat dari apda dalil yang hanya sifatnnya dugaan.[10]
C.
Perbedaan Nasakh dan Takhsis
1.
Pengertian Takhsis
Sebelum membahas lebih jauh tentang perbedaan nasikh dan takhsis
ada baiknya kita fahami dulu apa yang dinamakan takhsis dan hal-hal yang berkaitan
dengan takhsis.
Takhsis adalah bentuk masdar dari Khossoso ( خصَّص) yang bermakna Khos yang secara etimologi
adalah menentukan atau mengkhususkan. Dan secara terminology adalah memperpendek
makna atau hukumnya lafaz ‘aam pada sebagian satuanya.[11]
Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhsis adalah
penjelasan sebagian lafadh ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain,
menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadh ‘aam dengan
dalil.
Menrut Abdul Hamid Hakim, Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari
pada satuan-satuan yang masuk di dalam dalil-dalil lafadz ‘aam.[12]
Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa takhsis adalah
menjelaskan atau mempersempit hukum pada sebagian satuan yang masih termasuk dalam cakupan dalil lafadz ‘aam.
2.
Macam-macam Takhsis
(Mukhassis)
Mukhassis merupakan lafadz yang dapat memberikan faedah takhsis,
atau konotasi lain dari takhsis, dibagi menjadi dua :
a)
Muttasil
Yaitu lafadz yang tidak
berdiri sendiri, yakni maknanya bersangkutan dengan lafaz sebelumnya. dimana
takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama. Mukhassis muttasil ini ada 6
macam, yaitu [13]:
1)
Istitsna’
2)
Syarat
3)
Sifat
4)
Batasan (al-Ghoyah)
5)
Badalul ba’di min kull
6)
Al-hal (keadaan)
Salah
satu cotoh dari bagian mukhassis muttasil, yaitu firman Allah Swt dalam hal
Kafarat membunuh :
وَمَن قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
"...Dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman ... " (QS. An-Nisa : 92)
b)
Munfasil
Yaitu lafadz yang dapat berdiri sendiri dan memberikan faedah
dengan sendirinya, baik lafadznya itu sendirian atau bersamaan dengan yang
lainnya.[14]
Dimana takhsis macam ini, terjadi dalam kalimat yang lain atau terpisah.
Misalnya firman Allah AWT. Surah Al-Baqarah :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”
(QS. Al Baqarah :228).
Ketentuan
dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi
ketentuan itu dapat ditakhsis dengan QS. At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:
وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya.”
Dapat pula
ditakhshish dengan surat Al Ahzab ayat 49 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya.”
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus
beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang
dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.
Mukhassis atau takhsis ini terbagi menjadi 8 bagian [15] :
1)
Takhsis Al-Qur’an dengan Al- Qur’an
2)
Takhsis Al- Qur’an dengan Sunnah
3)
Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an
4)
Takhsis Sunnah dengan Sunnah
5)
Takhsis dengan Qiyas (التخصيص
بالقياس)
6)
Takhsis dengan akal. ( التخصيص بالعقل )
7)
Takhsis dengan rasa pemahaman.( التخصيص بالحس )
8)
Takhsis dengan kalimat sebelumnya ( التخصيص
بالسياق )
3.
Perbedaan Naskh dan Takhsis [16]
Setelah
memahami tentang nasakh dan takhsis maka dapat di tarik benang merah tentang
perbedaan diantara keduanya. Dimana takhsis merupakan penjelasan mengenai
kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz
yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua
kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku.
Penjelasan
yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara
keduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)
a)
Takhsis bisa dilakukan terhadap lafadz yang
belakangan dan bisa pula terhadap lafadz yang datang beriringan (datang
belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang
datang kemudian.
b)
Takhsis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli
maupun dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil
naqli saja.
c)
Nasakh hanya berlaku pada perintah (amar) dan
larangan (nahi) meski menggunakan bahasa pemberitahuan (khobar). Sedangkan Takhsis
bisa berlaku disemua kondisi pembicaraan (kalam).
d)
Lafadz yang umum tetap ada sesuai keumumanya
walaupun setelah di-takhsis, sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku
lagi.
e)
Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan
qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil syara’ lainya. Sedangkan dalam nasakh tidak
boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali dengan lafadz yang
qath’i pula.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahsan Mengenai bab nasikh dan mansukh, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil
syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum,
dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti
2.
Macam-macam nasikh dan mansukh
a)
Macam-macam surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasihk atau
mansukh yaitu, 25 Surat yang mengandung ayat-ayat nasihk dan mansukh, 40 surat hanya
mengandung ayat-ayat mansukh dan tidak mengandung ayat-ayat nasihk, 6 surat hanya
mengandung ayat-ayat nasihk tanpa menyertakan ayat-ayat mansukh, dan 43 surat bersih
dari ayat-ayat nasihk dan mansukh.
b)
Macam macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya terbagi menjadi 3
macam yaitu: Nasakh tilawah dan juga hukumnya, Nasakh hukum sedangkan tilwah
tetap, dan Nasakh tilawah sedangkan hukumnya tetap.
c)
Macam –Macam Nasakh Ditinjau Dari Segi Badal terbagi menjadi 4
macam yaitu : Nasakh tanpa badal ( pengganti), Nasakh dengan badal mumatsil (
sebanding), Nasakh dengan badal akhaf ( lebih ringan), dan Nasakh dengan badal
atsqal ( lebih berat).
d)
Macam nasakh dari sisi
otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah dalil terbagi
menjadi 4 macam, yaitu: Naskh al-Qur’an dangan al-Qur’an, Naskh hadits dengan al-Qur’an, Naskh al-Qur’an dengan hadits, dan Naskh hadits dengan hadits.
3.
Perbedaan nasakh dan takhsis Secara garis besar adalah takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan
suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang
dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua
kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku.
B.
Saran
Dalam memahami nasikh dan mansukh serta perbedaan keduanya, semoga
dapat menambah pengetahuan dan tentunya mengamalkan hal-hal yang penting guna
sebagai kemashalatan dan kebahagian diri sendiri dan juga tentunya bermanfaat
pada orang lain.
Abd al-`Azhim al-Zarqani, Muhammad. 1997. Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an.
Kairo: Isa al-Babi al-Halabi.
Anshori (al),
Abi Yahya Zakariya. T.th. Ghaayah Al-Wushul: Syarah Lubbu Al-Ushul,
Surabaya: Al-Hidayah.
Azka, Darul.
Dkk. Ushul Fiqih Terjemah Syarah
al-Waraqat, Kediri: Santri Salaf
Press.
Departemen
Agama RI. 2010. Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi.
Gufron,Muhammad dan Rahmawati. 2013. ulumul Qur’an praktis
dan mudah, Teras : Depok sleman jakarta.
Hakim, Abdul
Hamid. 2008. As-Sullam, juz 2. Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra,
Mansykur, Kahar.
2002. Pokok-pokok Ulumul Qur`an. Jakarta : Rineka Cipta
Maliki
(al), Sayyid Muhammad. T.th. Al-Qowaid Al-asasiyah fi ‘Ulumil Qur’an.
Surabaya: Al-Haramain.
Nor Ichwan,Moh . 2002. Studi
Ilmu-Ilmu al-Quran. Semarang : Ra
Sail Media Group.
Shihab, M.Quraisy. 2004. Membumikan al-Quran,
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan. Bandung
: Mizan.
Tim forum karya ilmiyah. 2010. RADEN Purna siswa 2011 MHM Lirboyo Kediri, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamulla, (Kediri: Lirboyo Press.
Kumbang Cumpong. “Perbedaan Nasakh dan
Takhsis ”, diakses pada 08-11- 2020 https://kumbangcumplong.blogspot.com/2015/06/makalah-perbedaan-nasakh-dengan
takhsis.html
[1] Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an, (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1957), hal. 175
[2] Moh. Nor
Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu
al-Quran, (Semarang : Ra
Sail Media Group, 2002),
hal. 10
[3] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran,..
hal. 143
[4] Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, (Pakistan:
Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi , 1982)
, hal. 52
[5] Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hal.
135
[6] Ibid,.
hal 108
[7] Mohamamad
gufron dan rahmawati,ulumul Qur’an
praktis dan mudah, (Teras :depok sleman jakarta, 2013), hal. 65
[8] Tim forum karya ilmiyah RADEN Purna siswa 2011 MHM Lirboyo Kediri, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamulla, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hal. 157
[9] Darul Azka dkk, Ushul Fiqih
Terjemah Syarah al-Waraqat, (Kediri: Santri
Salaf Press:
2016), hal 125.
[10] Tim forum karya ilmiyah RADEN Purna siswa 2011 MHM Lirboyo Kediri, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamulla,...hal. 178-179
[11] Imam Tajudin
Abd Al-Wahab Ibn Al-Subuki, Jam’u Al-Jawami’, Juz I, (Semarang: Thoha
Putra, tt.), 2.
[12] Abdul Hamid
Hakim, As-Sullam, juz II, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, 2008), 22.
[13] Ibid., 22-24.
[14] Abi Yahya
Zakariya Al-Anshori, Ghaayah Al-Wushul: Syarah Lubbu Al-Ushul, (Surabaya:
Al-Hidayah, tt), 76.
[15] Hamid Hakim, As-Sullam, 25-27.
[16] Kumbang Cu,mpong,
“Perbedaan Nasakh dan Takhsis ”, diakses pada 08 Nov 2020 https://kumbangcumplong.blogspot.com/2015/06/makalah-perbedaan-nasakh-dengan
takhsis.html
Komentar
Posting Komentar