Nasikh dan Mansukh

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad  SAW. Al Qur’an merupakan tuntutan bagi umat manusia untuk mencapai  bukan hanya kebahagiaan  di dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al Qur’an memuat ayat tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah. Al-Qur’anul Karim adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, Ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk social, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.

Ruang lingkup al-Qur’an adalah segala pembahasan mengenai al-Qur’an yang mana didalamnya membahas tentang asbabun nuzul, pembukuan dan pembakuan al-Qur’an, nasikh mansukh, dan masih banyak lagi. Selain itu, Segala cabang disiplin ilmu bermuara pada Al-Qur’an, sehingga belajar tentang hal-hal yang terkait dengan Al-Qur’an merupakan keharusan bagi kita sebagai muslim yang berusaha menjadi yang terbaik dihadapan Tuhannya dan menganalisis segala pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagai bekal dalam memantaskan diri menghadap Sang Khaliq.

Berdasarkan gambaran singkat yang telah dipaparkan, maka penulis tertarik untuk menfokuskan bahasan dalam makalah ini mengenai nasikh dan mansukh serta perbedaan antara nasikh dan takhsis.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian nasikh mansukh ?

2.      Apa saja macam-macam naskh yang ada di dalam al-Qur’an ?

3.      Perbedaan nasakh dan takhsis ?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian nasikh mansukh.

2.      Untuk mengetahui macam-macam naskh yang ada di dalam al-Qur’an.

3.      Untuk mengetahui Perbedaan nasakh dan takhsis.

 

 BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Nasikh Mansukh

Pengertian naskh secara etimologis memiliki beberapa pengertian, yaitu : penghapusan/pembatalan (al-izalah atau al-ibthal), pemindahan (al- naql), pengubahan/penggantian (al-ibdal), dan pengalihan (al-tahwil atau al-intiqal).[1]  Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka nasikh (isim fa`il) diartikan sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan memalingkan. Sedangkan mansukh (isim maful) adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diganti, dan dipalingkan.

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin dalam mendefinisikan nasakh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut bersumber pada banyaknya pengertian nasakh secara etimologi sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di antaranya:

1)      Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang ditetapkan kemudian.

2)      Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang lebih  khusus  yang  datang  setelahnya.

3)      Bayan  atau  penjelasan  yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.

4)      Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.[2]

Berdasarkan pada gugusan paparan di atas, ulama mutaqaddimin secara terminologis mengusung makna nasakh secara luas, yaitu tidak terbatas pada berakhir atau terhapusnya suatu hukum baru yang ditetapkan. Namun interprestasi nasakh yang diusung oleh mereka juga menyangkut yang bersifat pembatasan, pengkhususan, bahkan pengecualian. sementara  menurut  ulama  mutaakhirin,  nasakh  adalah  dalil  yang datang kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama[3]. Dengan demikian mereka mempersempit ruang lingkup  nasakh  dengan  beberapa  syarat,  baik  yang  menasakh  maupun yang dinasakh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan nasakh sebagai berikut :

 

Mengangkat   (menghapus)   hukum   syara`   dengan   dalil   hukum (khatab) syara` yang datang kemudian.[4]

Atas  dasar  itu,  dalil yang  datang  kemudian  disebut  nasikh  (yang menghapus). Sedangkan hukum yang pertama disebut mansukh (yang terhapus).   Sementara   itu,   penghapusan   hukumnya   disebut   nasakh.[5] Berdasarkan pengertian itu, para ulama mutaakhirin lebih mempersempit makna  nasakh  dengan  mendefinisikannya  sebagai  amandemen  sebuah ketentuan  hukum  atau  berakhirnya  masa  berlakunya  ketentuan  hukum oleh hukum yang datang kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi.

Sementara itu, menurut az-Zarqani, sebagaimana dinukil Moh. Nur Ichwan, yang dimaksud dengan terminologimenghapuskan dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang   mukallaf  dan  bukan  terhapusnya  subtansi  hukum  itu  sendiri.[6]

Dalam   arti   bahwa   semua   ayat   al-Quran   tetap   berlaku,   tidak   ada kontradiksi.  Yang  ada  hanya  pergantian  hukum  bagi  masyarakat  atau orang  tertentu  karena  kondisi  yang  berbeda.  Dengan  demikian,  ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya tetap berlaku bagi orang lain yang sama dengan kondisinya dengan mereka.

B.     Macam-Macam Nasihk Dan Mansukh

1.      Macam-macam surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasihk atau mansukh

Ibnu jauzi dan para ahli tafsir lainnya mengatakan, surat-surat dalam al-Qur’an yang mengandung ayat-ayat nasikh atau mansukh dibagi sebagai berikut :

a)      Surat-surat dalam al-Qur’an yang mengandung ayat-ayat nasihk dan mansukh ada 25 surat saja, yaitu : al-baqorah, Ali Im’ron, al-Nisa’al-Maidah, al-Anfal, al-Taubah, Ibrohim, al-Nahl, Maryam, al-Anbiya, al-Hajj, al-Nur, al-Syura, al-Furqon, al-Syura. Al-Ahzab, saba, al-Mu’min, al-Syura, al-Dzariat, al-Thur, al-Waqiah,al-Mujadalah, al-Muzammil, al-Takwir dan al-Ashr.

b)      Surat-surat dalam al-Qur’an yang hanya mengandung ayat-ayat mansukh dan tidak mengandung ayat-ayat nasihk ada 40 surat, diantaranya yaitu : al-An’am, al-A’raf, Yunus, Hud, al-Ro’ad, al-Hijr, al-Isra, al-Kahfi, Thaha, al-Mu’minun, al-Naml, al-Qashas, al-An’kabut, al-Rum, al-Luqman, al-Sajdah, al-Fathir.

c)      Surat-surat yang hanya mengandung ayat-ayat nasihk tanpa menyertakan ayat-ayat mansukh terdapat 6 surat, yaitu: al-Fath,al-Hasyr, al-Munafiqun, al-Thaghabun, al-Thalaq.

d)     Surat-surat yang benar-benar bersih dari ayat-ayat nasihk dan mansukh terdapat 43 surat, yaitu :al-Fatihah, Yusuf, Yasin, al-Hujarat, al-Rohman, al-Hadid, al-shaf,al-Jumu’ah, al-Tahrim, al-Mulk, al-Haqqoh, Nuh, al-Jin, al-Mursalat, al-Naba, al-Nazilat, al-Infithar, Al-Muntafifin, al-Insyiqaq, Al-Buruj, al-Fajh, al-Balad, al-Syams, al-Lail, al-Dhuha, al-Insirah, al-Qolam, al-Qodr,al- Insiyaq, al-Zalzalah, alAdiyat, al-Qoriah, al- Takatsur, al- Luqman, al-Fil, Qurais, al-Ma’un, al-Kausart, an-Nashr, al-Lahab, al-Iklash, al-Falaq,dan an-Nas.

2.    Macam macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya

Macam-macam nasakh dari segi hukum dan tilwahnya dalam al-Qur’an ada 3 macam, yaitu :

a)      Nasakh tilawah ( menghapus bacaan) dan juga hukumnya

Seperti penghapusan ayat yang diharamkan nikah dengan saudara sepersusuan dengan 10 kali susuan yang dinasakh dengan 5 kali kesusuan. Sebagaimana yang disampaikan Sayyidah ‘Aisyh r.a, beliau berkata :

كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

b)      Nasakh hukum sedangkan tilwah tetap.

Contoh : tentang masa i’ddah selama satu tahun sedang tilawahnya masih ada dalam al-Qur’an yaitu :

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا وَصِيَّةٗ لِّأَزۡوَٰجِهِم مَّتَٰعًا إِلَى ٱلۡحَوۡلِ غَيۡرَ إِخۡرَاجٖۚ فَإِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِي مَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ مِن مَّعۡرُوفٖۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ 

Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah : 240)

Kemudian ayat ini di nasakh dengan surah Al-Baqarah ayat 234 yang berbunyi:

وَالَّذِيۡنَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنۡكُمۡ وَيَذَرُوۡنَ اَزۡوَاجًا يَّتَرَبَّصۡنَ بِاَنۡفُسِهِنَّ اَرۡبَعَةَ اَشۡهُرٍوَّعَشۡرًا

Artinya: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari ....”

c)      Nasakh tilawah sedang hukumnya tetap

Contoh dalam hal ini adalah berkenaan tentang ayat rajam. Sebagaimana yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan Ubay bin Ka’ab yang berkata, termasuk dari ayat al-Qur’an diturunkan adalah :

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Yang artinya: “Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya. Itulah kepastian hukum dari Allah. Dan Allah Maha Gagah lagi Maha Bijaksana. (HR. Asy-Syafi’i )

3.    Macam –Macam Nasakh Ditinjau Dari Segi Badal

Adapun macam-macam nasakh ditinjau dari segi badal ( dengan adanya pengganti atau tidak adanya pengganti ) dibagi menjadi berikut :

a)      Nasakh tanpa badal ( pengganti).

Contoh penghapusan bersedekah sebelum berbicara kepada rosullulah sebagaimana diperintahkan dalam surat al-Mujadalah :12

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَٰجَيۡتُمُ ٱلرَّسُولَ فَقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيۡ نَجۡوَىٰكُمۡ صَدَقَةٗۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ لَّكُمۡ وَأَطۡهَرُۚ فَإِن لَّمۡ تَجِدُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ

Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b)      Nasakh dengan badal mumatsil ( sebanding )

Menghapus hukum sebelumnya dengan mengganti hukum yang seimbang. Contohnya me- nasakh ketentuan menghadap baitul maqdis dengan mengganti ketentuan menghadap kiblat ke ka’bah dalam sholat. Allah berfirman,

قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ

Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram

c)      Nasakh dengan badal akhaf ( lebih ringan )

contohnya puasa masa dahulu, dalam surat al-baqorah : 183 dinasakh dengan ayat al- baqorah : 187

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ

Arinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu”.

d)     Nasakh dengan badal atsqal ( lebih berat ).

Contohnya menghapus hukuman penahanan dirumah pada istri-isri yang menyeleweng dengan diganti dengan hukuman dera. Allah berfirman :

وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا 

Artinya : “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”. [7]

Adapun  dari  sisi  otoritas  mana  yang  lebih  berhak  menghapus  sebuah naskh, para ulama’ membagi naskh menjadi empat macam, diantaranya:

a)      Naskh al-Quran dangan al-Quran

Ulama’ menyepakati bahwa al-Quran bisa di naskh dengan al- qur’an karena melihat adanya kesetaraan dalam pengetahuan tentang al-Quran dan kewajiban mengamalkannya.[8] Seperti beberapa contoh yang telah disebutkan sebelumnya.

b)      Naskh al-Sunnah/hadits dengan al-Qur’an

Mayoritas ulama memiliki pandangan bahwa secara logika, al-Sunnah bisa di naskh dengan al-Quran dan sesuai dengan syariat hal tersebut. bisa terjadi. Kelompok mayoritas berargumen bahwa baik al-Quran dan as-Sunnah, kedunnya merupakan wahyu dari Allah Swt. Seperti yang ditegaskan oleh Allah Swt. Melalui ayat:

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣  إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤

dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). ( an -Najm, 3-4 )

Dalam  hal  ini  contohnya adalah dinaskh-kannya menghadap  Baitul Maqdis yang ditetapkan berdasarkan sunnah filiyyah  (perbuatan) dalam  hadits  shohih Bukhori-Muslim dengan ayat perintah menghadap Masjid Al-Haram.[9]

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Artinya : “...Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya...”(QS. Al-Baqarah: 144).

c)      Naskh al-Quran dengan al-Sunnah/hadits

Bagi kalangan ulama’ Hanafiyah, nasikh semacam ini diperkenankan bila sunnah yang menghapus nya sunnah mutawattir atau Masyhur. Akan tetapi ketentuan itu tidak berlaku apabila sunnah yang menghapusnya berupa sunnah ahad. Adapun bagi ulama fiqih, apapun jenis sunnah yang akan menghapus ketentuan hukum dalam al-Quran hal itu tetap tidak diperkenankan. Untuk itu Asy-Sayafii mengajukan analisisnya yang dikutip oleh Abdul Hadi dalam jurnalnya sebagai berikut: sunnah tidak sederajat dengan al-Qur’an padahal nasikh yang dijanjikan Tuhan dalam surat al-Baqoroh ayat 106 adalah  yang  sepadan  derajatnya  atau  lebih  tinggi. Contoh Al-qur’an yang di nasakh dengan hadits yaitu firman Allah SWT. Surah Al-Baqarah ayat 180 :

كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Kemudian ayat ini di nasakh dengan hadits

d)     Naskh al-Sunnah/hadits dengan al-Sunnah/hadits

Contokh Nasakh larangan berziarah kubur pada awal mula islam kemudian diperintah.

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلان فَزُورُوهَا

Artinya :“Dahulu aku melarang kalian dari berziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian”.(HR. Tirmidzy)

Dalam  pe-naskh-an  al-Sunnah  dengan  al-Sunnah  terbagi  menjadi empat bagian:

1)      Naskh    al-Sunnah    al-Mutawatirah    dengan    al-Sunnah    al- Mutawatirah.

2)      Naskh Sunnah al-Ahad dengan al-sunnah al-Ahad.

3)      Naskh al-Sunnah al-Ahad dengan al-Sunnah al-Mutawatirah

4)      Naskh al-Sunnah al-Mutawatirah dengan al-sunnah al-Ahad.

Mengenai pe naskh-an   pada tiga bagian yang awal, secara akal dan syariat tidak ada perbedaan pandangan dari para ulama’. Untuk bagian terakhir, yakni nasikh al-Sunnah al-Mutawatirah dengan al-sunnah al- Ahad, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, meskipun secara logika mereka sepakat memperbolehkannya, maka berbeda pandangan ketika membanya keranah realitas. Moyoritas ulama’ menafikankan terjadinya al-Sunnah al-Mutawatirah dengan al-sunnah al-Ahad tersebut. Salah satu alasannya jika sunnah al-Mutawatirah bersifat qath’i  (pasti  tepatnya)  sedangkan  ahad,  bersifat  zhanni  al-tsubut, (tidak pasti tepatnya, dugaan), sehingga dalil qad’i tidak bisa dihilangkan atau di-naskh dengan dalil zhinni, karena lebih kuat dari apda dalil yang hanya sifatnnya dugaan.[10]

C.    Perbedaan Nasakh dan Takhsis

1.      Pengertian Takhsis

Sebelum membahas lebih jauh tentang perbedaan nasikh dan takhsis ada baiknya kita fahami dulu apa yang dinamakan takhsis dan hal-hal yang berkaitan dengan takhsis.

Takhsis adalah bentuk masdar dari Khossoso ( خصَّص) yang bermakna Khos yang secara etimologi adalah menentukan atau mengkhususkan. Dan secara terminology adalah memperpendek makna atau hukumnya lafaz ‘aam pada sebagian satuanya.[11]

Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhsis adalah penjelasan sebagian lafadh ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadh ‘aam dengan dalil.

Menrut Abdul Hamid Hakim, Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk di dalam dalil-dalil lafadz ‘aam.[12]

Dengan demikian dapat di tarik kesimpulan bahwa takhsis adalah menjelaskan atau mempersempit hukum pada sebagian satuan yang masih  termasuk dalam cakupan dalil lafadz ‘aam.

2.      Macam-macam Takhsis  (Mukhassis)

Mukhassis merupakan lafadz yang dapat memberikan faedah takhsis, atau konotasi lain dari takhsis, dibagi menjadi dua :

a)      Muttasil

      Yaitu lafadz yang tidak berdiri sendiri, yakni maknanya bersangkutan dengan lafaz sebelumnya. dimana takhsis itu terjadi dalam satu kalimat yang sama. Mukhassis muttasil ini ada 6 macam, yaitu [13]:

1)      Istitsna’

2)      Syarat

3)      Sifat

4)      Batasan (al-Ghoyah)

5)      Badalul ba’di min kull

6)      Al-hal (keadaan)

Salah satu cotoh dari bagian mukhassis muttasil, yaitu firman Allah Swt dalam hal Kafarat membunuh :

وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ

"...Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman ... " (QS. An-Nisa : 92)

b)      Munfasil

Yaitu lafadz yang dapat berdiri sendiri dan memberikan faedah dengan sendirinya, baik lafadznya itu sendirian atau bersamaan dengan yang lainnya.[14] Dimana takhsis macam ini, terjadi dalam kalimat yang lain atau terpisah. Misalnya firman Allah AWT. Surah Al-Baqarah :

 وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al Baqarah :228).

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhsis dengan QS. At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:

 وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Dapat pula ditakhshish dengan surat Al Ahzab ayat 49 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

Mukhassis atau takhsis ini terbagi menjadi 8 bagian [15] :

1)      Takhsis Al-Qur’an dengan Al- Qur’an

2)      Takhsis Al- Qur’an dengan Sunnah

3)      Takhsis Sunnah dengan Al- Qur’an

4)      Takhsis Sunnah dengan Sunnah

5)      Takhsis dengan Qiyas (التخصيص بالقياس)

6)      Takhsis dengan akal. ( التخصيص بالعقل )

7)      Takhsis dengan rasa pemahaman.( التخصيص بالحس )

8)      Takhsis dengan kalimat sebelumnya ( التخصيص بالسياق )

3.      Perbedaan Naskh dan Takhsis [16]

Setelah memahami tentang nasakh dan takhsis maka dapat di tarik benang merah tentang perbedaan diantara keduanya. Dimana takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku.

Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara keduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)

a)      Takhsis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap lafadz yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.

b)      Takhsis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.

c)      Nasakh hanya berlaku pada perintah (amar) dan larangan (nahi) meski menggunakan bahasa pemberitahuan (khobar). Sedangkan Takhsis bisa berlaku disemua kondisi pembicaraan (kalam).

d)     Lafadz yang umum tetap ada sesuai keumumanya walaupun setelah di-takhsis, sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.

e)      Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil syara’ lainya. Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali dengan lafadz yang qath’i  pula.

 

 BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Dari pembahsan Mengenai bab nasikh dan mansukh, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.      Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’. Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan mansukh ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti

2.      Macam-macam nasikh dan mansukh

a)      Macam-macam surat dari segi yang mengandung ayat-ayat nasihk atau mansukh yaitu, 25 Surat yang mengandung ayat-ayat nasihk dan mansukh, 40 surat hanya mengandung ayat-ayat mansukh dan tidak mengandung ayat-ayat nasihk, 6 surat hanya mengandung ayat-ayat nasihk tanpa menyertakan ayat-ayat mansukh, dan 43 surat bersih dari ayat-ayat nasihk dan mansukh.

b)      Macam macam nasakh dari segi hukum dan tilawahnya terbagi menjadi 3 macam yaitu: Nasakh tilawah dan juga hukumnya, Nasakh hukum sedangkan tilwah tetap, dan Nasakh tilawah sedangkan hukumnya tetap.

c)      Macam –Macam Nasakh Ditinjau Dari Segi Badal terbagi menjadi 4 macam yaitu : Nasakh tanpa badal ( pengganti), Nasakh dengan badal mumatsil ( sebanding), Nasakh dengan badal akhaf ( lebih ringan), dan Nasakh dengan badal atsqal ( lebih berat).

d)     Macam nasakh dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus  sebuah dalil terbagi menjadi 4 macam, yaitu: Naskh al-Quran dangan al-Quran, Naskh hadits dengan al-Qur’an, Naskh al-Quran dengan hadits, dan Naskh hadits dengan hadits.

3.      Perbedaan nasakh dan takhsis Secara garis besar adalah takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku.

 

B.     Saran

Dalam memahami nasikh dan mansukh serta perbedaan keduanya, semoga dapat menambah pengetahuan dan tentunya mengamalkan hal-hal yang penting guna sebagai kemashalatan dan kebahagian diri sendiri dan juga tentunya bermanfaat pada orang lain.

 

 DAFTAR PUSTAKA

Abd al-`Azhim al-Zarqani, Muhammad. 1997. Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an. Kairo: Isa al-Babi al-Halabi.

Anshori (al), Abi Yahya Zakariya. T.th. Ghaayah Al-Wushul: Syarah Lubbu Al-Ushul, Surabaya: Al-Hidayah.

Azka, Darul. Dkk.  Ushul Fiqih Terjemah Syarah al-Waraqat,  Kediri: Santri Salaf Press.

Departemen Agama RI. 2010. Al Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi.

Gufron,Muhammad  dan Rahmawati. 2013. ulumul Qur’an praktis dan mudah, Teras : Depok sleman jakarta.

Hakim, Abdul Hamid. 2008. As-Sullam, juz 2. Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra,

Mansykur, Kahar. 2002. Pokok-pokok Ulumul Qur`an. Jakarta : Rineka Cipta

Maliki (al), Sayyid Muhammad. T.th. Al-Qowaid Al-asasiyah fi ‘Ulumil Qur’an. Surabaya: Al-Haramain.

Nor  Ichwan,Moh . 2002.  Studi  Ilmu-Ilmu  al-Quran. Semarang  :  Ra Sail  Media  Group.

Shihab, M.Quraisy. 2004. Membumikan  al-Quran,  Fungsi  dan  Peran  Wahyu  dalam Kehidupan. Bandung : Mizan.

Tim forum karya ilmiyah. 2010.  RADEN Purna siswa 2011 MHM Lirboyo Kediri, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamulla, (Kediri: Lirboyo Press.

Kumbang Cumpong. “Perbedaan Nasakh dan Takhsis ”, diakses pada 08-11- 2020 https://kumbangcumplong.blogspot.com/2015/06/makalah-perbedaan-nasakh-dengan takhsis.html



[1] Muhammad Abd al-`Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fî Ulum al-Qur`an, (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1957), hal. 175

[2] Moh.  Nor  Ichwan,  Studi  Ilmu-Ilmu  al-Quran,  (Semarang  :  Ra Sail  Media  Group, 2002),  hal. 10

[3] M.  Quraish  Shihab,   Membumikan  al-Quran,.. hal. 143

[4] Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar,  (Pakistan:  Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi , 1982) , hal. 52

[5] Kahar Mansykur, Pokok-pokok Ulumul Qur`an, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hal. 135

[6] Ibid,. hal 108

[7] Mohamamad gufron  dan rahmawati,ulumul Qur’an praktis dan mudah, (Teras :depok sleman jakarta, 2013), hal. 65

[8] Tim forum karya ilmiyah RADEN Purna siswa 2011 MHM Lirboyo Kediri, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamulla, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hal. 157

 

[9]  Darul Azka dkk, Ushul Fiqih Terjemah Syarah al-Waraqat, (Kediri: Santri

Salaf Press: 2016), hal 125.

[10] Tim forum karya ilmiyah RADEN Purna siswa 2011 MHM Lirboyo Kediri, Al-Qur’an Kita Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamulla,...hal. 178-179

[11] Imam Tajudin Abd Al-Wahab Ibn Al-Subuki, Jam’u Al-Jawami’, Juz I, (Semarang: Thoha Putra, tt.), 2.

[12] Abdul Hamid Hakim, As-Sullam, juz II, (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, 2008), 22.

[13] Ibid., 22-24.

[14] Abi Yahya Zakariya Al-Anshori, Ghaayah Al-Wushul: Syarah Lubbu Al-Ushul, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 76.

[15] Hamid Hakim, As-Sullam, 25-27.

[16] Kumbang Cu,mpong, “Perbedaan Nasakh dan Takhsis ”, diakses pada 08 Nov 2020 https://kumbangcumplong.blogspot.com/2015/06/makalah-perbedaan-nasakh-dengan takhsis.html

Komentar