SEJARAH PEMBUKUAN DAN PEMBAKUAN AL-QUR’AN PADA MASA NABI, SAHABAT DAN PERIODE BERIKUTNYA SERTA MEMAHAMI NASIKH DAN MANSUKH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitabullah yang merupakan
dasar syari’at dan sumber hukum Islam yang merupakan suatu kewajiban bagi umat
islam untuk melaksanakannya. Di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan tentang
halal dan haram, perintah dan larangan. Al-Qur’an menerangkan budi pekerti dan
sopan santun yang harus dipegang pula agar mendapatkan kebahagiaan sebagai
sumber hidayat, sehingga mendapatkan kedudukan yang tinggi di dalam surga yang
penuh dengan kenikmatan.
Ruang lingkup al-Qur’an adalah segala
pembahasan mengenai al-Qur’an yang mana didalamnya membahas tentang asbabun
nuzul, pembukuan dan pembakuan al-Qur’an, nasikh mansukh, dan masih banyak
lagi. akan tetapi disini penulis hanya akan membahas tentang pengertian
al-quran. proses pembukuan dan pembakuan al-Qur’an, pengertian naskh mansukh,
macam-macam naskh yang ada dalam al-Qur’an serta urgensi dan himah nasikh
mansukh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Al-Qur’an ?
2. Bagaimana proses pembukuan dan pembakuan Al-Qur’an pada masa Nabi, Abu
Bakar As-Shiddiq dan Ustman Bin Affan hingga hingga Perkembangan penulisan
mushaf pada periode selanjutnya ?
3. Apa pengertian nasikh mansukh ?
4. Bagaimana cara mengetahui naskh?
5. Apa saja macam-macam naskh yang ada di dalam al-Qur’an ?
6. Apa urgensi dan hikmah nasikh mansukh ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui proses pembukuan dan pembakuan Al-Qur’an pada masa Nabi,
Abu Bakar As-Shiddiq dan Ustman Bin Affan hingga perkembangan penulisan mushaf
pada periode selanjutnya
3. Untuk mengetahui pengertian nasikh mansukh.
4. Untuk mengetahui cara mengetahui nask.
5. Untuk mengetahui macam-macam naskh yang ada di dalam al-Qur’an.
6. Untuk mengetahui urgensi dan hikmah nasikh mansukh.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al- Qur’an
Al - Qur’an berasal dari kata قرأ dan kata Al-Quran itu
dibentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu مقرِؤ yang berarti di baca. Adapun definisi Al-Quran adalah kalam
Allah SWT. yang mana merupakan mukjizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada
Nabi Muhammad SAW yang ditulis di mushhaf dan diriwayatkan dengan mutawattir
serta membacanya merupakan ibadah.[1]
Al-Qur’an adalah kitabullah yang merupakan dasar syari’at dan sumber hukum
Islam yang merupakan suatu kewajiban bagi umat islam untuk melaksanakannya. Di
dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan tentang halal dan haram, perintah dan
larangan. Al-Qur’an menerangkan budi pekerti dan sopan santun yang harus
dipegang pula agar mendapatkan kebahagiaan sebagai sumber hidayat, sehingga
mendapatkan kedudukan yang tinggi di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan.
Para ulama mendefinisikankan bahwa “al-Qur’an adalah kalam atau firman Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya merupakan suatu
ibadah”. Dalam definisi “kalam” ini merupakan kelompok jenis yang meliputi
segala kalam. Dan dengan menghubungkannya kepada Allah (Kalamullah) berarti
tidak termasuk semua kalam manusia, jin dan malaikat.[2]
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan menggunakan berbagai ciri dan
sifatnya. Salah satunya adalah kitab yang keontentikannya dijamin oleh Allah,
dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara.
إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya :
“Sesungguhnya Kami yang menurunkun Al-Qur’an dan Kamilah
pemelihara-pemeliharanya” (QS.15:9).
Dengan demikian Allah menjamin keontentikan Al Qur’an jaminan yang
diberikan atas dasar ke-Mahatahuan-Nya, serta berkat upaya yang dilakukan oleh
makhlukNya, terutama oleh manusia. Dengan adanya jaminan ayat di atas, setiap
muslim bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda
sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rosulullah SAW dan didengar serta
dibaca oleh para sahabat Nabi.
B. Pembukuan Dan Pembakuan Al - Qur’an
Proses pembukuan dan pembakuan Al Qur’an dibagi menjadi 3 masa diantaranya
masa rosulullah SAW, masa sahabat Abu Bakar As Shiddiq r.a, dan masa sahabat
Ustman Bin Affan r.a. Selanjutnya masuk pada perkembangan baru penulisan mushaf
di periode selanjutnya.
1. Masa Nabi Muhammad SAW
Rosulullah sangat menyukai wahyu. Semasa hidupnya beliau senantiasa
menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu. Setelah wahyu turun beliau langsung menghafal
dan memahaminya persis seperti yang dijanjikan Allah dalam surat al-Qiyamah juz
29 ayat 17 yang berbunyi:[3]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
Makna yang terkandung pada ayat diatas yakni “Sesungguhnya atas tanggungan
kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai ) membacanya”. Oleh
sebab itu, beliau adalah hafidz (penghafal al-Qur’an) pertama dan merupakan
contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Al-Qur’an diturunkan
selama 20 tahun lebih. Proses penurunnya terkadang hanya turun 1 ayat dan terkadang
turun sampai 10 ayat. Setiap kali sebuah ayat turun beliau langsung menghafal
dalam dada dan menempatkannya di dalam hati. Hal ini disebabkan bangsa Arab
secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat. Pada umumnya mereka buta
huruf sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair serta silsilah mereka
dilakukan dengan catatan di hati mereka.[4]
Pada permulaan Islam, bangsa Arab merupakan bangsa yang buta akan huruf dan
amat sedikit diantara mereka yang mengenal baca-tulis, mereka belum mengenal
kertas sebagaimana sekarang. Perkataan Al Waraq (daun) yang lazim digunakan
dengan arti kertas di masa tersebut hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja.
Di masa hidupnya, Rosulullah telah mengangkat para penulis al-Qur’an dari
kalangan sahabat-sahabat terkemuka, diantaranya Ali, Muawiyah, Ubai Bin Ka’ab,
dan Zaid Bin Tsabit. Apabila ayat turun, beliau memerintahkan mereka untuk
menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah. Sehingga
penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu,
sebagian sahabat pun menuliskan al-Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka
sendiri, Tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang. Hal ini dibenarkan oleh Zaid Bin Tsabit, ia berkata “kami
menyusun al-Qur’an dihadapan Rosulullah pada kulit binatang”.[5]
Betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan al-Qur’an.
Di masa itu alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain
sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan qur’an ini semakin
menambah hafalan mereka.
Sehingga dapat disimpulkan pada masa Rosulullah hanya terjadi pengumpulan
dan penulisan al-Qur’an dengan alat seadanya sehingga menjadi lembaran-lembaran
ayat al-Qur’an saja belum utuh sebagai mushaf. Jadi pada masa itu al-Qur’an
belum sempat dibukukan dan dibakukan. Adapun alasan yang menyebabkan al-Qur’an
belum dibukukan pada masa ini adalah belum terdapat faktor pendorong untuk
melakukan pembukuan sebagaimana pada abu bakar. Pada saat itu keadaan kaum
muslimin baik-baik saja dengan banyaknya para penghafal al-quran, sementara
alat-alat tulis tidak mudah didapatkan. Selain itu, ayat-ayat al-Qur’an masih
belum final dan pengurutannya tidak berdasarkan urutan waktu turunnya ayat
namun berdasarkan sebab-sebab turunnya (asbab an-nuzul).
2. Masa Sahabat Abu Bakar As Shiddiq r.a
Dahulu pada saat Rosulullah SAW meninggal dunia kaum muslimin melakukan konsensus
untuk mengangkat Abu Bakar sebagai kholifah. Pada awal pemerintahan Abu Bakar,
terjadi kekacauan yang dilakukan Musailamah beserta pengikutnya. Mereka semua
menolak untuk membayar zakat dan keluar dari Islam (murtad). Akhirnya pasukan
yang dipimpin oleh Khalid Bin Walid segera menumpas gerakan tersebut. Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 12 Hijriyah di Yammah. Akibatnya, banyak sahabat
yang gugur diantaranya termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Qur’an.[6]
Setelah kejadian syahidnya 70 huffazh (penghafal al-Qur’an), sahabat Umar
Bin Khattab meminta khalifah Abu Bakar agar segera mengumpulkan al-Qur’an
menjadi satu mushaf. Alasannya Umar Bin Khattab khawatir seandainya al-Qur’an
hanya dihafal saja maka al-quran secara berangsur-angsur akan hilang dikarenakan
penghafalnya semakin berkurang.[7]
Pada awalnya Abu Bakar ragu-ragu untuk mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat.
Hal ini dikarenakan sewaktu Rosulullah masih hidup tidak pernah melakukan ini.
Akan tetapi, setelah beliau istikhoroh, kemudian beliau medapat kesesuaian
pendapat dengan usulan sahabat Umar Bin Khattab.
Kholifah Abu Bakar dengan Umar Bin Khattab melakukan munaqosyah dengan
mengundang penulis wahyu yang paling ahli pada zaman nabi yakni Zaid Bin Tsabit.
Kemudian Zaid Bin Tsabit pun menyetujui gagasan tersebut. Sehingga terbentuklah
sebuah tim yang dipimpin Zaid Bin Tsabit
dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci itu. Pada mulanya, Zaid
keberatan tetapi akhirnya juga dapat diyakinkan. Abu Bakar memilih Zaid Bin
Tsabit dikarenakan mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman,
dan kecerdasan serta kehadirannya pada masa pembacaan Rosulullah yang terakhir
kalinya.[8]
Akhirnya Zaid Bin Tsabit melakukan tugas yang sangat berat dan mulia itu
dengan sangat berhati-hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama
dalam penulisan tersebut adalah ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di
hadapan Nabi SAW dan hafalan para sahabat. Disamping itu, untuk lebih
berhati-hati lagi, catatan-catatan dan tulisan al-Qur’an tersebut baru, benar-benar
diakui, dan berasal dari Nabi SAW bila disaksikan oleh dua orang saksi yang
adil.
Dalam rentang waktu kerja tim Zaid pernah suatu kali menjumpai kesulitan,
mereka tidak menemukan naskah ayat 128-129 surat at-Taubah, yang berbunyi :
لقد
جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ . فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ
ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيم
Padahal, banyak sahabat penghafal al-Qur’an termasuk Zaid sendiri jelas-jelas
menghafal ayat tersebut. Akhirnya, naskah ayat tersebut ditemukan juga di
tangan seorang yang bernama Khuzaimah Al-Anshari. Setelah itu hasil kerja Zaid
yang telah berupa mushaf al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir
hayatnya. Setelah itu berpindah ke tangan Umar Bin Khattab. Setelah Umar Bin
Khattab meninggal dunia mushaf tersebut disimpan oleh Hafshah Binti Umar istri
dari Rosulullah.
Dari rekam jejak sejarah itu, dapat diketahui bahwa Abu Bakar adalah orang
pertama yang memerintahkan penghimpunan al-Qur’an. Umar Bin Khattab adalah
pelontar idenya, sedangkan Zaid Bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang
melaksanakan kerja besar penulisan al-Qur’an secara utuh dan menghimpunnya ke
dalam satu mushaf.
Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar, diantaranya
adalah:[9]
a) Seluruh ayat al-Qur’an ditulis dan dikumpulkan dalam satu mushaf.
b) Meniadakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh.
c) Semua ayat yang telah ada sudah diakui kemutawatirannya.
d) Dialek yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana
yang ditulis pada kulit unta pada masa Rosulullah.
Sehingga dapat disimpulkan pada masa Abu Bakar
As-Shiddiq ini hanya terjadi pengumpulan dan penulisan al-Qur’an sampai menjadi
mushaf. Jadi pada masa itu al-Quran juga belum sempat dibukukan dan dibakukan
juga. Hal ini dikarenakan pada saat proses penyalinan mushaf tersebut mereka
sempat mengalami kesulitan yakni mereka tidak menemukan salah satu naskah dari
surat at-Taubah. Setelah menemukannya mereka menyimpan mushaf tersebut dan belum
sempat membukukan dan membakukannya.
3. Masa Sahabat Ustman Bin Affan
Penyebaran wilayah pada masa kholifah Ustman
Bin Affan ini semakin meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan Azarbaijan.
Para penghafal al-Qur’an pun akhirnya juga tersebar, sehingga menimbulkan
adanya persoalan baru, yaitu perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin
mengenai bacaan (qira’at) al-Qur’an.[10]
Cara-cara mereka membawakan bacaan (qira’at)
al-Qur’an berbeda-beda sejalan dengan perbedaan huruf yang dengannya Qur’an
diturunkan. Apabila mereka berkumpul disuatu medan peperangan, sebagian mereka
merasa heran dengan adanya perbedaan qira’at ini. Terkadang mereka puas dengan
adanya perbedaan ini, dikarenakan perbedaan ini disandarkan pada Rosulullah. Akan
tetapi, keadaan ini bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada
generasi berikutnya yang tidak melihat Rosulullah. Sehingga terjadilah
pembicaraan tentang bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada
suatu nanti akan menimbulkan pertentangan bila terus tersiar, bahkan akan
menimbulkan permusuhan dan pembuatan dosa. Menurut mereka permasalahan seperti
ini harus segera diselesaikan.
Para pemeluk Islam di masing-masing daerah mempelajari
menerima bacaan al-Qur’an dari sahabat ahli qira’at di daerah masing-masing
yang bersangkutan. Penduduk Syam misalnya, belajar al-Quran dari Ubay Bin Ka’ab.
Warga Kuffah berguru pada Abdullah Bin Mas’ud sementara penduduk yang tinggal
di Basrah berguru daan membaca al-quran dengan qira’at Abu Musa Al-Asy’ari.
Versi qira’at yang dipelajari dan dimiliki
oleh masing-masing ahli qira’at satu sama lain berlainan. Hal ini menimbulkan
dampak negatif di kalangan umat Islam waktu itu. Masing-masing dari mereka
saling membanggakan versi qira’at mereka dan saling mengakui versi qira’at
mereka yang paling baik dan benar.[11]
Melihat situasi yang memperihatinkan seperti
ini Ustman segera mengumpulkan para sahabat dari kaum anshor dan kaum muhajirin
untuk memusyawarahkan masalah ini agar masalah ini tidak berlarut-larut. Akhirnya
tercapailah suatu kesepakatan agar mushaf yang sudah ditulis dan dikumpulkan
pada masa Abu Bakar As Shiddiq tersebut disalin kembali menjadi beberapa
mushaf. Mushaf-mushaf itu nantinya di kirim ke berbagai kota atau daerah untuk
dijadikan rujukan bagi kaum muslimin terutama ketika terjadi perselishan lagi
terkait qira’at al-Qur’an diantara mereka.
Agar kegiatan tersebut terlaksana, khalifah Ustman
menunjuk satu tim yang terdiri dari empat orang sahabat. Diantaranya yaitu Zaid
Bin Tsabit, Abdullah Ibnu Zubair, Sa’id Ibnu Al-Ash, dan Abdurrahman Ibnu
Al-Haris Ibnu Hisyam. Keempat orang ini adalah para penulis wahyu. semua tim
ini mempunyai tugas untuk menyalin mushaf yang selama ini disimpan di rumah
Hafsah istri dari Umar Bin Khattab tersebut dan membukukan mushaf menjadi al –
Qur’an.
Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman memberikan
nasehat agar:
a) Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal al-Qur’an
b) Kalau ada perselisihan di antara mereka tentang bahasa (bacaan) maka
haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab al-Qur’an diturunkan
menurut dialek mereka.
Hasil dari kerja tim tersebut berjudul empat
mushaf al-Qur’an standar. Tiga diantaranya dikirim ke Syam, Kuffah, Basrah dan satu
mushaf ini ditingalkan di Madinah untuk ustman sendiri yang nantinya dikenal
dengan mushaf Al-Imam. Selain itu mushaf yang asli tersebut dikembalikan kepada
Hafsah. Disini terdapat riwayat yang menyatakan bahwa penggandaan mushaf
sebanyak 5 buah, dan ada juga yang menyebutnya sebanyak 7 buah dan juga dikirim
selain tiga tempat di atas ke Makkah, Yaman, dan Bahrain. Agar permasalahan perselisihan
mengenai bacaan al-Qur’an ini dapat terselesaikan secara tuntas, maka ustman
memerintahkan semua mushaf al-Quran yang berbeda dengan hasil kerja “panitia
empat” ini segera dibakar.
Tentang berapapun jumlah mushaf yang ditulis
itu tidak menjadi masalah. Yang pasti upaya tersebut telah berhasil melahirkan
mushaf baku sebagai rujukan kaum muslimin dan menghilangkan perselisihan serta
perpecahan di antara mereka. Beberapa karakteristik mushaf al-Qur’an yang
ditulis pada masa Ustman Bin Affan diantaranya adalah:[12]
a) Ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat yang
mutawatir.
b) Tidak memuat ayat-ayat yang mansukh.
c) Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun secara tertib sebagaimana al-Quran
yang kita kenal sekarang. Tidak seperti mushaf al-Qur’an yang ditulis pada masa
Abu Bakar yang hanya tersusun menurut tertib ayat. Sementara surat-suratnya
disusun menurut urutan turunnya wahyu.
d) Tidak memuat sesuatu yang tidak tergolong al-Qur’an, seperti yang ditulis
sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing mushafnya, sebagai penjelasan atau
keterangan terhadap makna ayat-ayat tertentu.
e) Dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisyi sekalipun pada
mulanya diizinkan membacanya dengan
menggunakan dialek lain.
Dapat kita simpulkan pada masa Abu Bakar As-Shiddiq
tujuan pengumpulan al-quran adalah untuk mengumpulkan seluruh al-quran menjadi
satu mushaf. Hal ini dilakukan agar sesuatu darinya tidak ada yang hilang. Sementara
tujuan penyalinan al-Qur’an sampai pembukuan dan pembakuan pada masa ustman ke
dalam beberapa mushaf adalah agar mushaf tersebut disepakati oleh seluruh umat
untuk penyeragaman mushaf dan pembatasan bacaan. Dalam hal ini bisa dikatakan
bahwa al-Qur’an tersebut telah disepakati dan pembukuan dan pembakuan
mushaf/al-Qur’an ini terjadi pada masa kholifah Ustman Bin Affan. Terjadinya
pembukuan dan pembakuan ini dilakukan karena dikhawatirkan nanti di kemudian
hari terjadi adanya penyelewengan. Bentuk tulisan al-Qur’an pada zaman Ustman
ini sesuai dan persis dengan mushaf yang di kumpulkan pada masa Rosulullah dan Abu
Bakar As-Shiddiq.
Dengan demikian maka pembukuan dan pembakuan
al-quran pada masa Ustman memiliki faedah yang sangat besar, diantaranya:
1) Menyatukan kaum muslimin kepada satu macam mushaf/al-Qur’an yang seragam
bacaannya dan tulisannya.
2) Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut terbit unit sebagaimana yang
kelihatan pada mushaf yang terlihat pada masa sekarang ini.
Dengan adanya usaha pembukuan dan pembakuan
yang melewati proses panjang ini tidak sia-sia. Hal ini dikarenakan
terpeliharalah al-Qur’an al-Karim hingga sampai ke kita semua sekarang ini
dengan tidak ada perubahan sedikitpun dari apa yang telah diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Perkembangan penulisan mushaf pada periode selanjutnya
Pada periode selanjutnya ini terdapat beberapa
persoalan. Diantanya persoalan pemberian harakat dan persoalan pemberian titik
pada huruf. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pada proses penulisan,
pembukuan dan pembakuan al-Qur’an di masa periode Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar
As-Shiddiq, dan Ustman Bin Affan, naskah mushaf ini ditulis tidak menggunakan
alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (Nuqoth Al-I’jam) dan harakat (Nuqath
Al-I’rab) layaknya edisi mushaf al-Qur’an yang kita temui dan kita baca
sekarang ini.[13]
Dahulu di zaman khalifah Ustman, setelah
proses pembukuan dan pembakuan mushaf al-Qur’an beliau sempat mencetak beberapa
mushaf al-Quran dan menyebarkannya di berbagai kota. Setelah itu, para kaum
muslimin pun melakukan langkah-langkah duplikasi mushaf. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk keperluan pribadi masing-masing. Akan tetapi pada saat
duplikasi mushaf-mushaf tersebut tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik
ataupun pemberian harakat pada kata-kata dalam mushaf tersebut. Hal ini
berlangsung kurang lebih selama 40 tahun lamanya.[14]
Pada masa itu, terjadi perluasan dan pembukaan
wilayah-wilayah baru. Konsekuensi dari adanya perluasan dan pembukaan wilayah
baru ini adalah banyaknya orang-orang non Arab yang masuk Islam. Disamping itu
tentu saja interaksi antara muslimin Arab dengan orang-orang non Arab-muslim
ataupun non muslim. Akibatnya kekeliruan dalam menentukan jenis huruf dan
kesalahan dalam membaca harakat huruf menjadi fenomena yang tidak bisa
dihindari. Tidak hanya dikalangan kaum muslimin non Arab akan tetapi juga di
kalangan muslimin Arab sendiri.[15]
Persoalan diatas tersebut menjadi sumber
kekhawatiran tersendiri di kalangan
penguasa muslim. Terutama karena mengingat mushaf al-Qur’an yang tersebar ini
tidak didukung dengan alat bantu baca berupa titik dan harokat. Akhirnya Ziyad
Bin Abihi, salah seorang gubernur yang diangkat oleh Muawiyah Bin Abi Sofyan
r.a untuk wilayah Basrah ini memiliki ide pemberian harakat dan tanda baca pada
mushaf al-Qur’an. Kemudian Ziyad mengirimkan surat kepada Abu Aswad Al-Du’aly
yang berisi “ Sesungguhnya orang-orang non Arab itu telah semakin banyak dan telah
merusak bahasa orang-orang Arab. Maka cobalah anda menuliskan sesuatu yang
dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca al-Qur’an
dengan benar”.
Pada awalnya Abu As’ad Al-Du’aly merasa keberatan
melakukan tugas tersebut. Namun Ziyad membuat semacam perangkap kecil untuk
mendorongnya memenuhi permintaannya. Ia menyuruh seseorang untuk menunggu di
jalan yang sering Abu As’ad Al-Du’aly lewati dan berpesan “jika Abu Aswad
Al-Du’aly lewat maka bacalah salah satu ayat al-Qur’an tapi lakukanlah Lahn
(kesalahan dalam membaca harakat huruf). Ketika Abu Aswad lewat maka orang ini
membaca firman Allah surat at-Taubah ayat 3 dengan mengganti “Wa Rosuluhu”
menjadi “Wa Rosulihi”. Kemudian bacaan tersebut didengar langsung oleh Abu Aswad
dan itu membuatnya terpukul. Dengan kejadian inilah akhirnya Abu Aswad
Al-Du’aly memenuhi permintaan yang diajukan Ziyad. Ia pun menunjuk pria berasal
dari suku Abd Al-Qais untuk membantu usahanya. Tanda pertama yang diberikannya
adalah harakat. Metode yang dilakukannya pada waktu itu adalah Abu Aswad
Al-Du’aly membaca al-Qur’an dengan hafalannya sedangkan stafnya sembari
memegang mushaf memberikan harokat pada huruf terakhir setiap kata dengan warna
tinta yang berbeda. Disini harakat fathah ditandai dengan satu titik diatas
huruf, kasroh ditandai dengan satu titik dibawahnya, dhammah ditandai titik
didepannya dan tanwin ditandai dengan dua titik. Setiap selesai memberikan
tanda pada satu halaman Abu Aswad Al-Du’ali memeriksanya sebelum kembali
melanjutkan halaman berikutnya.[16]
Setelah itu, murid-murid Abu Aswad Al-Du’aly pun
kemudian mengembangkannya beberapa variasi baru dalam penulisan bentuk harakat
tersebut. Ada yang menulis tanda itu dengan bentuk kubus (murabba’ah), ada yang
menulisnya dalam bentuk lingkaran yang dikosongkan bagian tengahnya. Dalam
perkembangan selanjutnya, mereka kemudian menambahkan tanda sukun dan tasydid
yang diletakkan di bagian atas huruf. Al-Azhamy pun juga mengatakan bahwa
setiap wilayah mempraktekkan sistem titik yang berbeda. Misalnya sistem titik
yang digunakan penduduk Mekkah berbeda dengan yang digunakan orang Irak. Begitu
pula dengan penduduk Madinah berbeda dengan penduduk Basrah. Namun hal ini
ditegaskan, bahwa perbedaan ini sama sekali tidak mempengaruhi apalagi mengubah
bacaan Kalamullah. Ia masih tetap seperti yang diturunkan Allah kepada Rosulullah
SAW.[17]
Begitu juga dengan pemberian tanda titik pada
huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian harokat. Pemberian
tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki bentuk
penulisan yang sama namun pengucapannya berbeda. Seperti pada huruf ba ( ب ),
ta ( ت ),
tsa ( ث ),
shad ( ص ),
dhad ( ض )
dan masih banyak yang lainnya. Dahulu pada zaman Ustman huruf-huruf ini ditulis
tanpa menggunakan titik pembeda. Salah satu hikmahnya adalah seperti yang telah
disebutkan untuk menyamakan ragam qira’at yang ada. Tapi seiring meningkatnya
kuantitas interaksi muslimin Arab dengan bangsa non Arab, kesalahan pembacaan
jenis huruf-huruf tersebut pun merebak. Inilah alasan yang mendorong adanya
penggunaan tanda.[18]
Nuqoth Al-I’jam atau tanda titik ini pada
mulanya berbentuk lingkaran, lalu berkembang menjadi bentuk kubus, lalu
lingkaran yang berlobang bagian tengahnya. Tanda titik ini ditulis dengan warna
yang sama dengan huruf, agar dapat dibedakan dengan tanda harokat ( Nuqoth Al-I’rab)
yang umumnya warna merah. Tradisi ini pun berlangsung terus hingga berakhirnya
kekuasaan khilafah Mu’awiyah dan berdirinya Dinasti Abbasiyah pada tahun 132 H.
Pada masa ini, banyak terjadi kreasi dalam penggunaan warna untuk tanda-tanda
baca dalam mushaf. Di Madinah, mereka menggunakan tinta hitam untuk huruf dan Nuqath
al-I‘jam, dan tinta merah untuk harakat. Di Andalusia, mereka menggunakan empat
warna: hitam untuk huruf, merah untuk harakat, kuning untuk hamzah, dan hijau
untuk hamzah al-washl. Bahkan ada
sebagian mushaf pribadi yang menggunakan warna berbeda untuk membedakan jenis i’rab
sebuah kata. Tetapi semuanya hampir sepakat untuk menggunakan tinta hitam untuk
huruf dan nuqath al-i’jam, meski berbeda untuk yang lainnya.
Akhirnya, naskah-naskah
mushaf pun berwarna-warni. Tapi di sini muncul lagi sebuah masalah. Seperti
telah dijelaskan, baik Nuqath Al-I’Rab maupun Nuqath
Al-I’Jam, keduanya ditulis dalam bentuk yang sama, yaitu melingkar. Hal
ini rupanya menjadi sumber kebingungan baru dalam membedakan antara satu huruf
dengan huruf lainnya. Di sinilah sejarah mencatat peran Khalil bin Ahmad
alFarahidy. Ia kemudian menetapkan bentuk fathah dengan huruf alif kecil yang
terlentang diletakkan di atas huruf, kasrah dengan bentuk huruf ya’
kecil dibawahnya dan dhammah dengan bentuk huruf waw kecil diatasnya. Sedangkan tanwin dibentuk dengan
mendoublekan penulisan masing-masing tanda tersebut. Disamping beberapa tanda
lain, Al-Daly mengatakan: “Dengan demikian, Khalil (al-Farahidy) telah
meletakkan 8 tanda: fathah, dhammah, kasrah, sukun, tasydid, mad, shilah, dan
hamzah. Dengan metode ini, sangat memungkinkan untuk menulis huruf, i’jam
(tanda titik huruf), dan syakl (harakat) dengan warna yang sama”.[19]
Jadi dapat disimpulkan pada periode setelah Ustman
Bin Affan terjadi perselisihan terkait tanda baca al-qur’an. Akhirnya pada
periode khilafah Mu’awiyah ini al-Qur’an sudah diberikan tanda baca titik dan harokat
serta diberikan warna. Setelah persoalan itu selesai pada tahun 1436 M, Johannes
Guttenberg menemukan mesin cetak dan menjadi awal baru yang cemerlang bagi
penyebaran ilmu, budaya dan peradaban. Dengan adanya penemuan mesin cetak
tersebut akhirnya al-Qur’an dicetak seperti yang kita lihat pada saat ini dan
mulai berkembang al-quran dalam bentuk kitab, shofware, dan gadget.[20]
C. Pengertian Nasikh Mansukh
1. Pengertian Nasikh
Naskh menurut bahasa dipergunakan
untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya matahari menghilangkan
bayang-bayang dan angin menghapus jejak perjalanan. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan
sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya saya memindahkan (menyalin)
apa yang ada di dalam buku.
Menurut istilah naskh ialah
mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang
lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian naskh menghapuskan
“kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan
khitab syara” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati
atau gila, atau penghapusan dengan ijma’
atau qiyas.
Secara etimologi, nasikh
mempunyai beberapa pengertian; yaitu antara lain penghilangan (izalah),
penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sesuatu yang
menghilangkan, menggantikan,mengubah, dan memindahkan disebut nasikh.
Secara terminologi Nasikh
adalah mengangkat (menghapuskan) dalil hukum syar‘i dengan dalil hukum syar’i
yang lain. Nasikh adalah dalil syara’ yang menghapus suatu hukum, dan Mansūkh
ialah hukum syara’ yang telah dihapus
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut:
a) Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b) Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i
yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
c) Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi)
dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir
dengan berakhirnya waktu tersebut. Dan yang demikian tidak dinamakan naskh.
2. Pengertian Mansukh
Mansukh adalah hukum yang diangkat
atau dihapuskan. Maka ayat mawaris atau hukum yang terkandung di
dalamnya, misalnya menghapuskan (naskh) hukum wasiat kepada kedua orang
tua atau kerabat (Mansukh) sebagaimana akan dijelaskan. Mansukh menurut
etimologi adalah dihapus,diganti,diubah,dipindahkan.
Jadi mansukh hukum syara’
yang dihapus, yang di ganti, yang diubah, yang dipindahkan, sehingga mansukh
adalah objek hukum syara’ oleh subjeknya. Mansukh termasuk isim maful dari
nasikh dalam bahasa arab asal kata yang sama berubahan dan makna yang berbeda,
perbedaan makna antara kedua pembahasan ini adalah naskh artinya telah
menghapus sedangkan mansukh dihapus, seperti diterangkan di atas antara subjek
dan objek,peneliti dan diteliti. Analogi yang mendekati pemahaman mengenai
nasakh dan mansukh sama antara orang yang menghapus dengan apa yang di hapus.
Makki berkata segelongan
ulama menegaskan bahwa khitab yang mengisyaratkan waktu dan batas tertenu,
seperti firman Allah : “Maka maafkanlah dan biarkanlahmereka sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya) (Q.S Al Baqarah 2:109) adalah muhkam,
tidak masalah, sebab ia dikaitkan dengan batas waktu. Sedang apa yang dikaitkan
dengan batas waktu, tidak ada naskh di dalamnya.
3. Letak Perbedaannya[21]
NASAKH |
TAKHSHISH |
1.
Satuan yang
terdapat dalam nasikh bukan merupakan bagian yang terdapat dalam Mansukh. 2.
Nasikh adalah
menghapuskan hukum dari seluruh satuan yang tercakup dari dalil Mansukh. 3.
Nasikh hanya
terjadi dengan dalil yang datang kemudian 4.
Nasikh
menghapuskan hubungan mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas. 5.
Setelah
terjadi nasikh, seluruh sesuatu yang terdapat dalam nasikh tidak terikat
dengan hukum yang terdapat dalam mansukh. |
1. Satuan yang terdapat dalam takhshish merupakan
bagian dari satuan yang terdapat dalam lafaz umm. 2. Takhshish merupakan hukum dari sebagian satuan
yang tercakup dalam dalil umm. 3. Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang
kemudian maupun menyertai dan mendahulinya. 4. Takhshish tidak menghapuskan hukum umm sama
sekali. Hukum umm tetap berlaku meskipus sudah dikhususkan. 5. Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang
terdapat dalam umm tetap terikat oleh dalil umm. |
D. Cara mengetahui Nask
Pengertahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi
dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama fuqaba, musfir dan ahli usul,
agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacu dan kabur. Oleh sebab itu,
terdapat banyak asar (perkataan
sahabat dan atau tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini.
Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seseorang
hakim lali bertanya, “Apakah kamu mengetahui yang nasikh dari yang mansukh?”
“Tidak”, jawab hakim itu. Maka kata Ali: “ Celakalah kamu dan mencelakakan
orang lain”.
Dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, “Dan
barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah diberi kebijakan yang
banyak”. (Al-Baqarah 2:269), “yang dimaksud ialah nasikh dan mansukhnya,
muhkam dan mutasyabihnya, muqoddam dan mu’akharnya, serta halal dan haramnya.
Untuk mengetahui nasikh dan
mansukh terdapat beberapa cara :
1.
Keterangan tegas dari Nabi
kata sahabat.
Juga seperti perkataan Anas mengenai
kisah orang yang dibunuh di deket Ma’unah sebagaimana akan dijelaskasn
nanti. “berkenaan dengan mereka turunlah ayar Qur’an yang pernah kami baca
sampai kemudian diangkat kembali”.
2.
Kesepakatan umat bahwa ayat
ini nasikh dan yang itu mansukh.
3.
Mengetahui mana yang terlebih
dahulu dan mana yang kemudian dalam perspektif sejarah.
Nasikh tidak dapat ditetapkan
berdasarkan ijtihad, pendapat mufasir atau keadaan dalil-dalil yang secara
lahir nampak kontradiktif, atau terkambatnya keislaman ssalah seorang dari dua
perawi.[22]
E. Macam-Macam Nasikh
Karena sumber atau dalil syara’ ada dua yaitu al-Qur’an
dan Sunnah Nabi Muhammad saw, maka ada empat jenis nasikh yaitu :
1. Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh
(menghapus) –secara ringkas-ada empat bagian:
a.
Naskh Qur’an dengan Qur’an.
Bagian ini disepakatai kebolehnnya dan
telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh, Misaknya
ayat tentang idah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana akan dijelaskan
contohnya.
b. Naskh Qur’an dengan Sunnah.
Naskh ini ada dua macam:
1)
Naskh Qur’an dengan hadis ahad.
Jumhur berpendapat, Qur’an mutawatir
dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad
zanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang
ma’lum (jelas diketahui) dengan maznun (diduga).
2) Naskh Qur’an dengan hadist mutawatir
Naskh demikian dibolehkan oleh Malik,
Ani Hnifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya dalah
wahyu. Allah berfirman :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
Artinya :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya”. (Q.S An-Najm 53:3-4)
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Artinya :
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). (Q.S An-Najm 53:3-4)
Dan juga berdasarkan firman Allah SWT :
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya :
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” (Q.S An-Nahl 16:44)
Dan pada itu asy-Syafii, Ahli Zahir dan Ahmad dalam
riwayatnya yang lain menolak nasikh seperti ini, berdasarkan firman Allah :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
Artinya :
“Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”. (Q.S Al Baqarah 2:106)
sedang hadis tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Qur’an.
3) Naskh Sunnah dengan Qur’an
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai
contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Makdis yng ditetapkan dengan sunnag
dan di dalam Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukkannya. Ketetapan itu dinasakhan
oleh Qur’an dengan firman-Nya :
فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Artinya :
“Maka Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram” (Q.S Al-Baqarah 2:144)
Kewajiban puasa pada hari Asyura yang
ditetapkan berdasarkan sunnah, juga dinasakh oleh firman Allah :
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya :
“Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah
ia berpuasa” (al-Baqarah 2:185), Tetapi naskh versi ini pun ditolak oleh Syafii
dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetepakan sunnah tentu
didukung oleh Qur’an dan apa saja yang ditetapkan oleh Qur’an tentu didukung
pula oleh sunnah. Hal ini karena antara kitab dengan sunnah harus senantiasa
sejalan dan tidak bertentangan.
4)
Naskh sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk :
a.
Naskh mutawattir dengan muttawatir
b.
Nash ahad dengan ahad
c.
Naskh ahad dengan muttawatir
d.
Naskh mutawattir dengan ahad
Tiga bentuk pertama diperbolehkan sedangkan bentuk
keempat, terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Qur’an dengan hadist
ahad, yang dibolehkan oeh jumhur.
Adapun menasakh ijma’ denan ijma’ dan qiyas dengan qiyas
atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang sahih tidak membolehkannya.
2.
Bentuk-bentuk Naskh dalam Al-Qur’an
a.
Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya
Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak.
Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap. Hikmah
naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan
umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan
dimudahkan.
Contoh firman Allah :
إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
Artinya
:
“ Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh,” (al-Anfal 8:65). Ayat ini
menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200
orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000
orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan Firman
selanjutnya.
لْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ
Artinya :
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia
telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus
orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang,” (al-Anfal 8:66)
b. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap
Al-Aamidi rahimahullah
menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan)
tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang
menyendiri dari kalangan Mu’tazilah.
Hikmah naskh jenis ini
adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam
bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat),
yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu
Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan
penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan
mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”.
Contoh Firman Allah:
وَاللَّاتِي
يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
وَاللَّذَانِ
يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا
Artinya :
“ Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya, Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan
keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka,” (An-Nisa 4: 15-16). Kedua
ayat ini dinasakh oleh ayat dera bagi yang belum nikah sebagaimana dijelaskan
dalam ayat :
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ
Artinya :
“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,” (an-Nur 24:2) dan oleh
hukuman dera bagi yang belum nikah dan hukuman rejam bagi yang telah nikah
seperti ditetapkan dalam sunnah, “Pernkahan antara bujang dan perawan itu di
dera seratus kali dan diasingkan selama satu satun. Sedang perzinaan antara duda
dengan jadan di dera seratus kali dan direjam.
c.
Nash Yang Mansukh Hukumnya
Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali
penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata
كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ
Dahulu di dalam apa yang telah
diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui,
mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan
yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan
itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu
termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun
lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian
naskh bacaannya, masih tetap membacanya.[23]
F. Urgensi Dan Hikmah Nasikh Mansukh
1.
Urgensi Nasikh dan Mansukh
Kajian tentang nasikh mansukh sangat
penting sekali dalam kajian Islam, terutama dalam bidah fiqh karena menyangkut
ketetatapan hukum. Lebih lagi dalam menyelesaikan kasus ayat-ayat yang terdapat
pertentangan satu sama lain, dan tidak ada cara untuk menyelesaikannya kecuali
dengan meneliti kronologi turunya, mana yang lebih dahulu turun dibandingkan
dengan yang lain, sehingga dapat ditentukan mana yang nasikh dan mana
yang mansukh. Itulah sebabnya
kenapa para ulama pada masa yang lalu memperhatikan hal ini. Betapa pentingnya
ilmu ini dapat dilihat dan penafsiran Ibn Abbas tentang makna al-hikmah pada
ayat berikut ini.
وَمَنْ
يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya :
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar
telah dianugerahi karunia yang banyak...” (Q.S Al-Baqarah 269)
Menurut Ibn Abbas, yang
dimaksud dengan hikmah dalam ayat ini adalah
“pengetahuan tentang nasikh mansukh, muhkam mutasyabih, turunnya
kronologi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan pengetahuan tentang halal dan haram
Al-Qur’an.
Adanya nasikh mansukh ini
juga memberikan keuntungan kepada umat Islam. Jika pengganti hukum yang dihapus
ternyata lebih berat daripada yang diganti akan memberikan tambahan pahala
kepada umat yang melaksanakannya. Jika pengganti lebih ringan akan memberikan
kemudahan dan keringanan kepada umat.
Nasikh Mansukh juga menjadi batu ujian bagi umat Islam. Contohnya adalah perubahan Qiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah di Makkah. Bagi kaum Muslimin sendiri, perpindahan kiblat ini juga merupakan ujian keimanan, siapa yang betul-betul patuh mengikuti Rasulullah SAW, dan siapa yang kemudian berpaling gara-gara perpindahan kiblat ini. Bagi orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk dari Allah, memang perpindahan kiblat ini akan terasa berat.[24]
2.
Hikmah Nasikh dan Mansukh
a.
Memelihara kepentingan hamba
b.
Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna
sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
c.
Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk
mengikutinya atau tidak.
d.
Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.
Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat
tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih rinan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan.[25]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitabullah yang merupakan
dasar syari’at dan sumber hukum Islam yang merupakan suatu kewajiban bagi umat
islam untuk melaksanakannya.
Proses pembukuan dan pembakuan Al Qur’an dibagi menjadi 3 masa diantaranya
masa rosulullah SAW, masa sahabat Abu Bakar As Shiddiq r.a, dan masa sahabat
Ustman Bin Affan r.a.
Pada masa Rosulullah hanya terjadi pengumpulan dan penulisan al-Qur’an
dengan alat seadanya sehingga menjadi lembaran-lembaran ayat al-Qur’an saja
belum utuh sebagai mushaf. Jadi pada masa itu al-Qur’an belum sempat dibukukan
dan dibakukan. Adapun alasan yang menyebabkan al-Qur’an belum dibukukan pada
masa ini adalah belum terdapat faktor pendorong untuk melakukan pembukuan
sebagaimana pada abu bakar. Pada saat itu keadaan kaum muslimin baik-baik saja
dengan banyaknya para penghafal al-quran, sementara alat-alat tulis tidak mudah
didapatkan. Selain itu, ayat-ayat al-Qur’an masih belum final dan pengurutannya
tidak berdasarkan urutan waktu turunnya ayat namun berdasarkan sebab-sebab
turunnya (asbab an-nuzul).
Pada masa Abu Bakar As-Shiddiq ini hanya
terjadi pengumpulan dan penulisan al-Qur’an sampai menjadi mushaf. Jadi pada
masa itu al-quran juga belum sempat dibukukan dan dibakukan juga. Adapun tujuan
pengumpulan al-quran pada masa Abu Bakar As-Shiddiq adalah untuk mengumpulkan
seluruh al-quran menjadi satu mushaf. Hal ini dilakukan agar sesuatu darinya
tidak ada yang hilang. Hal ini dikarenakan pada saat proses penyalinan mushaf
tersebut mereka sempat mengalami kesulitan yakni mereka tidak menemukan salah
satu naskah dari surat at-Taubah. Setelah menemukannya mereka menyimpan mushaf
tersebut dan belum sempat membukukan dan membakukannya
Sementara tujuan penyalinan al-Qur’an sampai
pembukuan dan pembakuan pada masa ustman ke dalam beberapa mushaf adalah agar
mushaf tersebut disepakati oleh seluruh umat untuk penyeragaman mushaf dan
pembatasan bacaan. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa al-Qur’an tersebut telah
disepakati dan pembukuan dan pembakuan mushaf/al-Qur’an ini terjadi pada masa
kholifah Ustman Bin Affan. Terjadinya pembukuan dan pembakuan ini dilakukan
karena dikhawatirkan nanti di kemudian hari terjadi adanya penyelewengan.
Bentuk tulisan al-Qur’an pada zaman Ustman ini sesuai dan persis dengan mushaf
yang di kumpulkan pada masa Rosulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq.
Mengenai bab nasikh dan mansukh dapat
disimpulkan bahwa banyak ulama sependapat atau sepakat mengenai adanya hukum
nasikh dan mansukh. Ulama juga meyepakati bahwa benar adanya mengenai nasikh
dan mansukh di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Syari’at selalu melihat
kemaslahatan ummat manusia oleh karena itu nasikh mesti ada dan terjadi pada
sebagian hukum. Nasikh itu tidak terjadi pada berita-berita tetapi terjadi pada
hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah halal dan haram. Hukum-hukum itu
bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi untuk kemaslahatan dan kebahagiaan
manusia.
Oleh karena itu, jika menyimpang dari syari’at
akan menyebabkan ketimpang tindihan dalam kehidupan manusia karna tidak
mengikuti ajaran serta anjuran islam sesuai dengan ketentuan.
B. Saran
Dalam memahami pembukuan dan pembakuan
al-Qur’an serta memahami nasikh dan mansukh semoga dapat menambah pengetahuan
dan tentunya mengamalkan hal-hal yang penting guna sebagai kemashalatan dan kebahagian
diri sendiri dan tentunta orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
AF, Asanuddin.
1995. Anatomi Al-Qur’an: Perbedaan
Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap
Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Agil Husen
Al-Munawar, Said . Cet III. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Jakarta: Ciputat Press.
Al-Ibyari,Ibrahim .1965. Tarikh Al-Qur’an.
Kairo: Daar Al-Quran.
AS, Mudzakkir. 2004. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Bogor:
Pt Pustaka Litera Antar Nusa.
AS, Mudzakkir.
2009. Manna Khalil Al-Qattan Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Lintera
Antarnusa.
Departemen Agama RI. 1984. Al Qur’an dan Terjemahannya.
Surabaya: CV Jaya sakti.
Fauzi Rahman, Ihsan. 2008. Sejarah
Al-Qur’an. Bandung:(tt).
Hamzah, Muchotop. 2003. Studi Al-Quran
Komprehensif. Yogyakarta: Gema Media.
Hariadi, Lalu. 2016. “Nasakh Mansukh Dalam Al-Qur’an”,
diakses pada 01 November 2020 https://laluhaidirali3.wordpress.com/2016/11/12/nasakh-mansukh-dalam-al-quran/
Khalil al-Qattan, Manna.
2002. Studi Ilmu-Ulm Qur’an. Jakarta: Halim Jaya.
[1] Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, ( Surabaya: CV Jaya sakti, 1984),
hlm.16
[2] Mudzakkir
AS, mabahis fi ulumil qur’an, (bogor: pt pustaka litera antar
nusa,2004), hlm.15
[3] Mudzakkir
AS, Manna Khalil Al-Qattan Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, ( Bogor: Lintera
Antarnusa, 2009), Hlm.179
[4] Ibid, hlm.179
[5] Ibid, Hlm.
185-186
[6] Depag. Ri. Al Qur’an Dan Terjemahnya, Hal.22
[7] Muchotop Hamzah, Studi Al-Quran Komprehensif, (Yogyakarta: Gema
Media, 2003), Hlm.125
[8] Manna
Al-Qattan, Mabahits, Hlm.74
[9] Said Agil
Husen Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta:
Ciputat Press. Cet Iii), Hlm. 19
[10] Ibrahim Al-Ibyari, Tarikh Al-Qur’an, (Kairo: Daar Al-Quran. 1965),
Hlm.81
[11]
Asanuddin AF, Anatomi Al-Qur’an: Perbedaan Qira’at Dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1995), Hlm.56
[12] Said Agil
Husen Al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Hlm.21
[13] Ihsan Fauzi Rahman, Sejarah Al-Qur’an, (Bandung:(tt) ,2008), Hlm. 13
[14] Ibid, Hlm. 13
[15] Ibid,
Hlm. 14
[16] Ibid, Hlm. 14-15
[17] Ibid, Hlm. 15
[18] Ibid, Hlm.
16
[19] Ibid, Hlm.17
[20] Ibid, Hlm. 25-26
[21] Lalu
Hariadi, “Nasakh Mansukh Dalam Al-Qur’an”, diakses pada 01 November 2020 https://laluhaidirali3.wordpress.com/2016/11/12/nasakh-mansukh-dalam-al-quran/
[22] Manna Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ulm Qur’an, (Jakarta: Halim Jaya, 2002) h.
330
[23] Ibid, h.
334-336
[24] Ibid, h.186
[25] Ibid, h. 339
Komentar
Posting Komentar